MAKALAH
UNDERSTANDING
INTERCULTURAL TRANSITION
Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Komunikasi Antar Budaya
Dosen Pengampu Materi :
Yuyun Agus Riani
S.Pd, M.Sc
Disusun oleh :
Nimas Ayu Sekarningrum                                  (135120201111044)
Riri Endiani Febria                                             (135120201111084)
Ivan Dharmawan Kuncoro                                (135120201111022)
Oldina Novalia Rahmadaniar                            (135120200111042)
Elisabeth So Raya                                              (135120200111062)
D-3
ILMU KOMUNIKASI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2014/2015
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 
LATAR
BELAKANG
 Saat ini, manusia sudah dapat dengan mudah
melakukan migrasi kemanapun yang mereka suka, baik itu di dalam negeri ataupun ke luar
negeri. Tidak perlu berbulan-bulan berlayar untuk dapat mencapai suatu tempat
yang jauh. Namun kini dengan adanya
pesawat terbang, manusia bisa mencapai tempat tersebut hanya dengan beberapa
jam saja.
Walaupun manusia sudah
dapat dengan mudah melakukan migrasi, pada kenyataannya mereka tidak dapat
dengan mudah beradaptasi di tempat baru dengan lingkungan dan  kebudayaan yang tentu saja juga baru. Manusia
yang telah lama tinggal di daerah asalnya dengan budaya yang sudah seperti
mendarah daging dalam diri sendiri, tentu saja akan mengalami kesulitan untuk bisa
mengerti bahkan menerima budaya yang baru tersebut. Kesulitan tersebut bisa
dalam bentuk bahasa yang berbeda sehingga manusia tidak dapat berkomunikasi
dengan efektif, kebiasaan-kebiasaan yang mungkin akan sulit untuk diterima
karena terasa asing ataupun lingkungan baru yang tidak sesuai dengan keinginan
manusia itu sendiri. 
Dapat
kita lihat disini bahwa manusia yang melakukan migrasi disebut sebagai kelompok
migran. Dimana kelompok migran itu sendiri terbagi menjadi dua jenis yaitu voluntary migrant (migran sukarela) dan involuntary migrant (migran tidak
sukarela). Dan tentu saja kelompok migran tersebut tidak akan lepas dari
keadaan dimana mereka akan merasa tidak nyaman, asing, sulit beradaptasi, dan
perasaan lainnya yang diakibatkan karena perbedaan budaya tempat asal dengan
tempat tujuan migrasinya. Hal ini biasa disebut sebagai culture shock, dimana mereka yang mengalaminya mungkin tidak
memahami hal-hal mendasar seperti bagaimana berpakaian untuk situasi-situasi
tertentu ataupun meminta tolong atau memberikan pujian kepada seseorang. Namun
mereka akan menunjukkan gejala-gejala seperti kehilangan identitas, tidak
percaya diri, ataupun rindu keluarga. Culture
shock sendiri bukan berarti tidak dapat ditanggulangi. Setiap manusia yang
memasuki budaya baru bagi dirinya, cepat
atau lambat harus segera menyesuaikan diri dengan lingkungan baru agar ia tidak
terisolasi dan tertekan dalam lingkungan tersebut yang pada akhirnya hal ini
akan menimbulkan keadaan yang disebut sebagai migrant-host relationship.
1.2 
RUMUSAN
MASALAH
a.       Apa
yang dimaksud dengan kelompok migran?
b.      Apa
saja yang termasuk sebagai jenis kelompok migran?
c.       Apa
yang dimaksud dengan culture shock?
d.      Apa
saja gejala-gejala yang timbul akibat culture
shock?
e.       Bagaimana
cara menanggulangi culture shock?
f.       Apa
definisi dari migrant-host relationship?
g.      Apa
saja yang termasuk dalam migrant-host
relationship?
1.3 
TUJUAN
PEMBAHASAN
Makalah
ini dibuat dengan tujuan untuk menjelaskan dan memberikan informasi mengenai
keadaan yang dialami oleh para kelompok migran saat mereka memasuki suatu
wilayah baru dengan kebudayaan yang tentu saja baru dan berbeda dengan
kebudayaan mereka yang lama. Para kelompok migran tersebut akan mengalami culture shock. Selain itu, makalah ini
juga bertujuan untuk menjelaskan mengenai jenis-jenis dari kelompok migran itu
sendiri serta mengenai fase dimana para kelompok migran tersebut mau tidak mau
harus dapat beradaptasi di lingkungan baru tersebut yang hal ini akan disebut
sebagai migrant-host relationship.
BAB II 
PEMBAHASAN
2.1. Kelompok Migran
Sebelum mengetahui
pengertian kelompok migran, kita akan memahami terlebih dahulu pengertian dari
migrasi. Dalam KBBI migrasi diartikan sebagai perpindahan
penduduk
dari satu
tempat
(negara,
dsb.) ke
tempat
(negara,
dsb.) lain
untuk
menetap.
Ini merupakan pengertian dasar dari migrasi. Dalam konteks budaya, perpindahan
penduduk ini kemudian dikaitkan dengan penelitian mengenai transisi budaya.  Sebuah perspektif dialektik menuntut bahwa kita meneliti
transisi antarbudaya pada kedua pribadi dan tingkat kontekstual (Berry, 1992). Pada
tingkat pribadi, kita bisa melihat pada pengalaman individu beradaptasi dengan
konteks budaya baru. Untuk memahami transisi budaya, kita secara bersamaan
harus mempertimbangkan kedua kelompok migran individu dan konteks di mana
mereka melakukan perjalanan. Migrasi mungkin jangka panjang atau jangka pendek
dan sukarela atau terpaksa. Migran didefinisikan sebagai seorang individu yang
meninggalkan konteks budaya utama di mana ia dibesarkan dan kemudian bergerak
ke konteks budaya baru untuk jangka waktu tertentu (panjang atau pendek). semua
orang lahir di luar negeri dapat diklasifikasikan sebagai Migran. Ada dua jenis
kelompok Migran yakni kelompok migran sukarela dan migran tidak sukarela. Dari perbandingan kedua jenis
kelompok migran diatas perbedaan utama dari kelompok migran sukarela ataupun
kelompok migran tidak sukarela adalah alasan mereka memutuskan ketika meninggalkan
negara asal mereka.
2.1.1       
Jenis
Kelompok Migran
A.     Voluntary
Migran (Migran Sukarela)
Migran
sukarela ini disebut juga sebagai “economic migran”. Jadi setiap individu yang
termasuk ke dalam migran sukarela ini melakukan migrasi ke negara lain berdasarkan kehendak bebas individu tersebut, adanya
akibat dari motivasi mereka akan hal tertentu ataupun
berdasarkan inisiatif. Orang-orang bermigrasi
untuk berbagai alasan, dan tentunya melibatkan pilihan berat dan pilihan mudah.
Individu yang tertarik dalam melakukan migrasi akan
sering menganalisis faktor
pendorong dan penarik dari dua lokasi
sebelum membuat keputusan mereka. Faktor terkuat
mempengaruhi orang untuk secara sukarela pindah adalah keinginan untuk tinggal
di rumah yang lebih baik dan kesempatan kerja. Faktor-faktor
lain yang berkontribusi terhadap migrasi sukarela antara lain adanya perubahan
dalam proses kehidupan (menikah, kosong-sarang, pensiun, dll), politik (dari
negara liberal ke keadaan konservatif, negara yang mengakui gay-pernikahan, dll),
dan kepribadian individu (kehidupan pinggiran kota untuk kehidupan kota).
Jangka waktu kelompok migran ini ketika melakukan migrasi bisa dalam jangka
panjang ataupun jangka pendek. pengkategorian kelompok migran sukarela tersebut
terbagi menjadi 2, antara lain :
a)      Sojourners
Kelompok migran ini terdiri dari para
pelancong yang melakukan migrasi ke Negara atau daerah lain menuju ke konteks
budaya baru dalam jangka waktu tertentu dan tujuan tertentu. Selain itu
sojourners merupakan orang-orang memiliki kebebasan dan akomodasi (sarana) yang
tercukupi dalam melakukan perjalanan ke daerah atau Negara lain. keinginan
mereka bukan semata-mata memenuhi kebutuhan materi mereka seperti ekonomi dan
sebagainya, namun sebagian besar lebih kepada menemukan pengalaman baru,
pengetahuan baru atau hal yang ingin mereka dapatkan di tempat tersebut.
Misalnya seperti adanya program pertukaran pelajar ke luar negeri yang
memungkinkan individu merasakan budaya yang berbeda dengan budaya mereka
sebelumnya. Bisa pula personalia perusahaan, dan misionaris yang pergi ke luar
negeri untuk bekerja selama satu periode tertentu. Beberapa sojournes domestik berpindah dari satu daerah ke
daerah lain di dalam negeri mereka sendiri untuk menghadiri sekolah atau
bekerja.
Contoh nyata nya ialah salah satu pelajar Indonesia
bernama Aviananda Putri yang melakukan pertukaran pelajar ke Amerika. Dengan di
melakukan pertukaran ke Amerika, dia menemukan konteks budaya yang baru dan
tentunya berbeda dari budaya Negara asalnya. Dari konteks budaya lama menuju
budaya baru di negeri orang, banyak permasalahan yang ia hadapi dan
mengharuskan nya untuk menyesuaikan diri dengan masyarakat dan kebudayaan
disana.
b)      Imigran
(Pendatang Baru)
Imigran
ini biasanya merupakan sebuah keluarga atau anggota masyarakat yang menetap ke
tempat atau Negara lain dan dengan sukarela meninggalkan Negara atau tempat
asalnya. Seringkali sebuah keluarga melakukan imigrasi karena faktor ekonomi
dan merasa tempat yang akan mereka jadikan tempat menetap akan lebih baik untuk
mendorong kebutuhan hidup mereka daripada tempat yang saat ini mereka tinggali.
Indonesia sendiri adalah sebuah negara dengan kepadatan penduduknya, banyak
masyarakatnya melakukan migrasi ke luar negeri setiap tahun. Migrasi dilakukan
bisa karena urgen problem atau bisa pula dikarenakan menginginkan kehidupan
baru yang lebih baik. 
Migrasi
bagi sebagian besar penduduk suatu negara khususnya di Indonesia menjadikan
migrasi sebagai kunci mereka memiliki peluang untuk mencukupi kebutuhan hidup
mereka yakni adanya kesempatan kerja. Misalkan saja saat ini Indonesia telah
menjadi salah satu Negara terbesar yang mengirim buruh migran (TKI) ke
Negara-negara yang melakukan kerjasama bilateral dibidang ketenagakerjaan. 
Ironis,
sebagian
besar migran yang pindah ke negara lain tidak diterima sebagai imigran resmi. Karena pergeseran dalam kebijakan politik ekonomi,
anggota keluarga migran dapat terjebak di dalam negeri, tidak dapat bergabung
dengan seluruh keluarga di negara rumah baru. Dari
imigran yang secara resmi yang tidak diterima untuk menetap di Negara lain,
adapula imigran gelap yang juga memiliki banyak alasan bermigrasi namun dengan
cara yang bisa dikatakan ‘nekad’. Banyak imigran gelap ditemukan disebuah kapal
angkut barang, diselundupkan dengan cara mereka bersembunyi ditempat yang
pengap dan beresiko menyebabkan kematian.
B.     Involuntary
Migran
(Migran Terpaksa)
Involuntary Migran atau yang sering
disebut sebagai Force Migran (Migrasi paksa) adalah bentuk negatif dari
migrasi, yang disebabkan oleh pelbagai macam hal, seperti penganiayaan,
pengembangan, dan eksploitasi. Dalam Report of the Salzburg Seminar session tahun 1995 mengenai Involuntary Migration, saat ini menjadi
salah satu masalah kemanusiaan terbesar yakni mengenai hak asasi manusia dan
ethnic strife (perselisihan bangsa) dimana membutuhkan sebuah lembaga
internasional sebagai pendamai dan penengah. Permasalahan mengenai migrasi
paksa yang
terbesar dan paling menghancurkan migrasi paksa dalam sejarah manusia adalah
perdagangan budak Afrika, yang membawa 12-30.000.000 orang Afrika dari rumah
mereka dan membawanya ke berbagai bagian Amerika Utara, Amerika Latin, dan
Timur Tengah. Masyarakat Afrika diambil bertentangan dengan keinginan mereka
dan dipaksa untuk pindah. 
The Trail of Tears adalah contoh
lain migrasi paksa. Setelah Indian Removal Act tahun 1830, puluhan ribu
penduduk asli Amerika yang tinggal Tenggara dipaksa untuk bermigrasi ke bagian
Oklahoma kontemporer ("Tanah Rakyat Merah" di Choctaw). Banyak suku
dilalui di sebanyak sembilan negara dengan berjalan kaki, yang mengakibatkan
kematian diatasi. 
Migrasi paksa tidak selalu
kekerasan. Salah satu migrasi sukarela terbesar dalam sejarah disebabkan oleh
pembangunan. Pembangunan China Three Gorges Dam pengungsi hampir 1,5 juta orang
dan menempatkan 13 kota, 140 kota dan 1.350 desa di bawah air. Meskipun
perumahan baru diberikan bagi mereka yang terpaksa pindah, banyak orang tidak
kompensasi cukup. Beberapa daerah yang ditunjuk baru juga kurang ideal secara
geografis, tidak foundationally aman, atau tidak memiliki tanah pertanian
produktif. 
Ada dua jenis migran yang
masuk kategori involuntary migran yakni pengungsi jangka panjang dan pengungsi
jangka pendek. Pengungsi jangka panjang (long-term refugees) merupakan
orang-orang yang dipaksa untuk relokasi permanen karena perang, kelaparan dan
penindasan. Menurut UNHCR Indonesia (Lembaga yang Bertanggung Jawab dalam
menangani pengungsi dari luar negeri) Sampai dengan akhir Juli 2014,
sejumlah 3,983 pengungsi yang sebagian besar datang dari Afghanistan (35%),
Myanmar (23%), Sri Lanka (8%) dan Somalia (8%) terdaftar di UNHCR Jakarta. Sedangkan pengungsi
jangka pendek merupakan pengungsi domestik untuk jangka pendek atau tidak
terbatas untuk bergerak dalam suatu Negara. Orang-orang yang mengungsi akibat
bencana alam merupakan salah satu contoh pengungsi jangka pendek.
2.2.  Culture
Shock
Melakukan
penyesuaian dengan budaya yang baru dan berbeda bagi setiap orang tidak mudah.
Ketika sesorang baru saja tiba di lingkungan budaya yang sama sekali berbeda,
ia akan mengalami fase di mana ia
merasa canggung dan bingung dalam melakukan interaksi atau komunikasi dengan lingkungan
sekitar. Keadaan inilah yang disebut dengan culture
shock atau kejutan budaya.
Culture shock
mengacu pada reaksi psikologis yang dialami seseorang karena berada di tengah
suatu kultur yang sangat berbeda dengan kulturnya sendiri (Devito, h. 549,
2011). Setyapranata (1996) dalam Masduki (2010) menyatakan bahwa Shock budaya
mengimplikasikan suatu keadaan kegelisahan atau kekhawatiran yang muncul
sebagai akibat dari keterlibatan penuh di dalam suatu budaya baru.
Devito
dalam bukunya The Interpersonal Communication Book mengemukakan bahwa orang
yang mengalami culture shock mungkin
tidak memahami hal-hal mendasar seperti :
a.       Meminta
tolong atau memberikan pujian kepada seseorang
b.      Menyampaikan
atau menerima undangan makan malam
c.       Seberapa
dini atau terlambat dating memenuhi janji, atau seberapa lama harus berada di
sana
d.      Membedakan
antara kesungguhan dan gurauan, sopan santun dari ketidak pedulian
e.       Bagaimana
berpakaian untuk situasi-situasi tertentu
f.       Bagaimana
memesan makanan di restoran atau bagaimana memanggil pelayan.
Menurut
Guanipa (1998) dalam Niam (2009) disebutkan gejala culture shock diantaranya adalah : 
a.       Kesedihan,
kesepian, kelengangan
b.      Preokupasi
(pikiran terpaku hanya pada sebuah ide saja, yang biasanya  berhubungan dengan keadaan yang bernada
emosional) dengan kesehatan
c.       Kesulitan
untuk tidur, tidur terlalu banyak atau terlalu sedikit
d.      Perubahan
dalam perangai, tekanan atau depresi, perasaan yang peka atau sensitive
e.       Kemarahan,
sifat lekas marah, keengganan untuk berhubungan dengan orang lai
f.       Mengidentifikasi
dengan budaya lama atau mengidealkan daerah lama
g.      Kehilangan
identitas
h.      Berusaha
terlalu keras untuk menyerap segalanya di budaya baru
i.       
Tidak mampu memecahkan
permasalahan sederhana
j.       
Tidak percaya diri
k.      Merasa
kekurangan, kehilangan dan kegelisahan
l.       
Mengembangkan stereotype
tentang kultur yang baru
m.    Mengembangkan
obsesi seperti over-cleanliness
n.      Rindu
keluarga.
Culture shock tidak
selalu ketika kita pergi ke luar kota, pulau, atau melakukan perjalanan ke luar
negeri. Culture shock terjadi saat
kita masuk pada budaya yang baru dan sangat berbeda dari budaya yang kita
pegang. Misalnya ketika seorang mahasiswa baru dengan style dan gaya hidup yang
biasa saja, masuk pada lingkungan mahasiswa dengan gaya hidup yang cukup mewah,
ia akan mengalami fenomena culture shock
ini. Mahasiswa baru tersebut merasa minder, enggan berkumpul dengan
teman-temannya, atau ragu menyampaikan pendapatnya sehingga perlahan-lahan dia
berusaha menyesuaikan dirinya dengan keadaan lingkungannya.
Terjadinya
culture shock bukan berarti tidak
dapat ditanggulangi. Setiap orang yang memasuki budaya baru bagi dirinya, cepat
atau lambat harus segera menyesuaikan diri dengan lingkungan baru agar ia tidak
terisolasi dan tertekan dalam lingkungan tersebut. Kirana mengemukakan
upaya-upaya menghadapi culture shock
diantaranya adalah :
1.      Levine
dan Adelman (1993) dalam Kirana menyebutkan seseorang dengan watak yang terbuka,
fleksibel, dan toleran akan lebih mudah menyesuaikan diri dengan lingkungannya.
Maka, untuk menghadapi culture shock yang
pertama kali harus diperhatikan adalah bagaimana diri kita. Hal ini berkaitan
dengan pengalaman-pengalaman setiap individu saat berhadapan dengan hal-hal
baru. Melatih diri untuk besikap terbuka dan mudah menyesuaikan dengan keadaan
akan memudahkan kita untuk beradaptasi dan masuk pada budaya-budaya baru.
2.      Kecakapan atau skill juga merupakan
salah satu faktor yang mempengaruhi seseorang dalam beradaptasi. Kecakapan ini
menyangkut kemampuan seseorang dalam menguasai atau memahami segala sesuatu
mengenai lingkungan baru yang didatanginya, seperti bahasa, adat istiadat,
budaya, kebiasaan dan lain-lain.
3.      Motivasi juga menjadi salah satu
faktor yang mempengaruhi seseorang dalam beradaptasi. Jika seseorang memiliki
motivasi untuk pindah ke lingkungan yang baru, maka ia akan dengan mudah dapat
beradaptasi.
2.4  Migrant-Host
Relationship
Seorang
Psikolog Sosial John Berry (1992) menggolongkan hubungan antara pendatang dan
penduduk asli menjadi berdasarkan perilakunya terhadap budaya masing masing dan
akhirnya membagi kedalam empat tipe hubungan yaitu, asimilasi, separasi,
integrasi, dan marjinalisasi. Namun terdapat pula masyarakat yang bukan
tergabung dalam ke-empat golongan tersebut karena migran terus berubah-ubah
menyesuaikan dengan konteksnya. (Martin & Nakayama, 2010)
| 
   | 
  
   
Migrants Value Host/Majority Culture 
 | 
  
   
Migrants Devalue Host/Majority Culture 
 | 
 
| 
   
Migrants
  devalue own/minority culture 
 | 
  
   
Assimilation 
 | 
  
   
Marginalization 
 | 
 
| 
   | 
  
   
Hybridity 
 | 
 |
| 
   
Migrants
  value own/minority culture 
 | 
  
   
Integration 
 | 
  
   
Separation 
 | 
 
2.4.1       
Asimilasi
Ketika
berada disuatu lingkungan baru individu akan berusaha untuk beradaptasi. Dalam
asimilasi individu tidak menginginkan identitas budaya yang terisolasi namun
ingin mempertahankan hubungan dengan kelompok baru di dalam kebudayaan yang
baru. Asimilasi
adalah pembauran dua kebudayaan yang disertai dengan hilangnya ciri khas
kebudayaan asli sehingga membentuk kebudayaan baru. Asimilasi berarti nilai
kebudayaan yang terdapat pada budaya lama atau asalnya tidak dipertahankan
lagi. 
      Hasil penelitian oleh African Americans and Hispanic Americans menunjukan bahwa penyebab
dari asimilasi adalah tekanan dari masyarakat lokal terhadap pendatang. Ketika
ia memiliki banyak pengalaman diskriminasi akhirnya semakin berkurang keinginan
mereka untuk mempertahankan kebudayaannya sendiri (Ruggiero, Taylor, &
Lambert, 1996)  dalam (Martin & Nakayama, 2010).
Ø  Syarat
terjadinya Asimilasi:
1.      Terdapat
sejumlah kelompok yang memiliki kebudayaan berbeda.
2.      Terjadi
pergaulan antar individu atau kelompok secara intensif dan dalam waktu yang
relatif lama.
3.      Kebudayaan
masing-masing kelompok tersebut saling berubah dan menyesuaikan diri.
Ø  Faktor
Pendorong terjadinya Asimilasi:
1.      Toleransi
di antara sesama kelompok yang berbeda kebudayaan
2.      Kesempatan
yang sama dalam bidang ekonomi
3.      Kesediaan
menghormati dan menghargai orang asing dan kebudayaan yang dibawanya.
4.      Sikap
terbuka dari golongan yang berkuasa dalam masyarakat
5.      Persamaan
dalam unsur‐unsur
kebudayaan universal
6.      Perkawinan
antara kelompok yang berbeda budaya
7.      Mempunyai
musuh yang sama dan meyakini kekuatan masing‐masing untuk
menghadapi musuh tersebut.
Ø  Faktor
penghambat terjadinya Asimilasi:
1.      Faktor-faktor umum yang dapat
menjadi penghalang terjadinya asimilasi antara lain sebagai berikut.
2.      Kelompok yang terisolasi atau
terasing (biasanya kelompok minoritas)
3.      Kurangnya pengetahuan mengenai
kebudayaan baru yang dihadapi
4.      Prasangka negative terhadap pengaruh
kebudayaan baru. Kekhawatiran ini dapat diatasi dengan meningkatkan fungsi
lembaga-lembagakemasyarakatan
5.      Perasaan bahwa kebudayaan kelompok
tertentu lebih tinggi daripada kebudayaan kelompok lain. Kebanggaan berlebihan
ini mengakibatkan kelompok yang satu tidak mau mengakui keberadaan kebudayaan
kelompok lainnya
6.      Perbedaan ciri-ciri fisik, seperti
tinggi badan, warna kulit atau rambut
7.      Perasaan yang kuat bahwa individu
terikat pada kebudayaan kelompok yang bersangkutan
8.      Golongan minoritas mengalami
gangguan dari kelompok penguasa.
§  Contoh
Kasus:
Ani lahir dan besar di Madura dan
saat ini ia melanjutkan pendidikan ke Malang. Bahasa di Madura sangat khas
sekali, orang biasa bahkan jawa pun masih sulit untuk memahaminya. Selain itu
nada bicara orang madura juga tinggi sehingga bagi yang tidak memahami mungkin
akan mengira Ani marah. Ani paham jika ia menggunakan bahasa Madura tidak akan
ada yang memahaminya sehingga ia mencoba untuk berbahasa Indonesia. Namun,
ketika ia secara tidak sengaja menggunakan bahasa Madura teman-teman selalu
menertawakannya. Ani akhirnya mulai malu dan oleh karena itu ia berusaha untuk
tidak terlalu menunjukkan identitas Maduranya ketika berkomunikasi dengan
teman-teman di Malang.
2.4.2       
Separasi
Separasi
dibedakan menjadi dua tipe, yang pertama adalah ketika imigran memilih untuk
mempertahankan budaya aslinya dan menghindari interaksi dengan kelompok lain.
Lalu tipe yang kedua adalah segregasi. Segregasi terjadi ketika masyarakat
dominan menekan dan menginisiasi pemisahan kepada imigran.
§ 
Contoh
Kasus:
Suku Dayak
dan Madura pada awalnya hidup berdampingan dengan damai di Sampit, Kalimantan
Tengah. Namun akhirnya suku Dayak sebagai masyarakat dominan merasa jika daerah
mereka secara perlahan dikuasai oleh suku Madura khususnya dalam bidang
ekonomi. Akhirnya konflik terjadi dan pecahlah perang sampit. Suku Dayak berusaha memusnahkan suku Madura yang ada
di Sampit sampai akhirnya banyak dari mereka meninggal dan tidak ada orang
Madura lagi di Sampit.
2.4.3       
Integrasi
Integrasi adalah
proses yang terjadi dari integrasi budaya dimana anggota dari sebuah etnis atau
kebudayaan, seperti imigran, yang biasanya merupakan golongan minoritas,
diterima dalam komunitas baru yang lebih besar.
§ 
Contoh
Kasus
Pendatang
di Amerika Serikat dari India, tetap melakukan festival kebudayaan mereka
“Navatri” saat disana. Masyarakat dominan AS pun mengijinkan dan tidak
menjadikannya suatu permasalahan.
2.4.4       
Marjinalisasi 
Marjinalisasi terjadi ketika individu
atau kelompok tidak mampu beradaptasi di antara budaya yang dominan. Hal ini
menyebabkan mereka tidak dapat berpartisipasi penih dalam kehidupan sosial dan
politik.
§ 
Contoh
Kasus:
Para pelaku
yang telah terbukti menginisiasi Gerakan 30 September Partai Komunis Indonesia
(G30SPKI) diberikan sanksi sosial oleh masyarakat dan pemerintah. Mereka
dikucilkan dan tidak diberi hak sebagai warga Negara bahkan hal ini juga
berlaku bagi anak dan keluarga mereka.
2.4.5       
Cultural Hybridity
Tipe ini
terjadi ketika seorang imigran dan keluarganya melakukan kombinasi dalam berhubungan
dengan penduduk lokal, jadi sewaktu-waktu mereka berasimilasi, lalu diwaktu
yang lain melakukan integrasi, dan dapat melakukan separasi atau bahkan memilih
untuk melakukan marjinalisasi (Martin & Nakayama, 2010).
Tipe ini
juga terjadi ketika seseorang lahir dan berasal dari suatu tempat lalu pindah
ke tempat lain dan tinggal untuk waktu yang cukup lama. Hal ini menyebabkan ia
menggabungkan dua kebudayaan tersebut, namun pasti tetap ada yang dominan.
§ 
Contoh
Kasus
Ina lahir
di Padang, ia menghabiskan masa kecilnya disana lalu pindah ke Surabaya dan
menetap sampai ia menikah. Ina merasa sebagai bagian dari kedua kebudayaan
tersebut, ia bisa berbahasa padang dan juga sudah lancar berbahasa jawa, ia pun
juga merasa memiliki kedua kebudayaan tersebut, meski ia tetap merasa sebagai
orang padang.
BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
 Setiap manusia yang melakukan migrasi, baik
itu secara sukarela maupun tidak sukarela, pasti akan mengalami suatu keadaan
dimana mereka tidak dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan dan kebudayaan
yang baru karena adanya perbedaan dengan lingkungan dan kebudayaan mereka yang
lama atau yang disebut sebagai culture
shock. Keadaan ini bukan berarti tidak dapat ditanggulangi. Manusia yang
mengalami culture shock mau tidak mau
harus bisa menyesuaikan diri dengan lingkungan dan kebudayaan yang baru. Dengan
adanya sikap toleransi untuk terbuka dengan lingkungan dan kebudayaan baru
ataupun memotivasi diri sendiri untuk bisa beradaptasi, maka manusia bisa
mengatasi keadaan tersebut. Hal ini nantinya akan menimbulkan keadaan yang
disebut migrant-host relationship, seperti
akan terjadi asimilasi atau pembauran dua budaya ataupun malah terjadi
separation atau pemisahan antarbudaya.
3.2  SARAN
            Sebelum melakukan migrasi, ada baiknya
kita mempelajari budaya tempat tujuan migrasi terlebih dahulu. Hal ini bisa
membantu kita untuk tidak terlalu mengalami cuture
shock. Selain itu, hal ini juga dapat membantu kita unuk lebih mudah
beradaptasi dan berkomunikasi dengan masyarakat yang ada di lingkungan baru
tersebut. 
DAFTAR PUSTAKA
Prianti D. Desi & Riani A. Yuyun. (2012). Modul Bahan Ajar UBDistancelearning: Komunikasi Antar Budaya.
Devito. (2011). Komunikasi Antarmanusia (edisi ke-5). ([A] Maulana, Terjemahan).
Tangerang: Karisma Publishing Group
Kirana P. Rahaditya. (2011). Strategi
Adaptasi Pekerja Jepang Terhadap Culture Shock : Studi Kasus Terhadap Pekerja
Jepang Di Instansi Pemerintah Di Surabaya.7-8
Martin, J.N & Nakayama, T.K. Intercultural
Communication in Context. (2010). New York: The McGraw-Hill
Companies, Inc.
Masduki. (2010). Memaknai
Interaksi Lintas Bahasa Dan Budaya Dalam Konteks Lokal. 4 (1), 3-4 http://journal.trunojoyo.ac.id/prosodi/article/download/86/108, 23 September 2014
Niam K. Erni.(2009). Koping
Terhadap Stres Pada Mahasiswa Luar Jawa Yang Mengalami Culture Shock Di Universitas Muhammadiyah Surakarta. 11 (1)
Ping Zhou.
Migration : Forced Migration, Reluctant Migration, and Voluntary Migration. http://geography.about.com/od/populationgeography/a/Migration.html
Rachel
Cassidy. Involuntary and Voluntary Migrant Estimates. http://www.copafs.org/UserFiles/file/seminars/methodology_and_data_quality/Involuntary
and Voluntary Migarant Estimates.pdf, 23 September 2014
Schreuder,
Yda. (1996). Report of the Salzburg Seminar session, "Involuntary Migration". The
International Migration Review.30 (3) ;
pg. 803.  ProQuest.
UNHR Indonesia.
(2001-2011). Pengungsi.http://www.unhcr.or.id/id/siapa-yang-kami-bantu/pengungsi, 24 September 2014
Terimakasih, artikelnya sangat membantu.
BalasHapus