Rabu, 07 Januari 2015

FENOMENA GLOBALISASI POLITIK : TERORISME

MATA KULIAH PENGANTAR ILMU POLITIK
“FENOMENA GLOBALISASI POLITIK : TERORISME”


Dosen Pembina :
Ibu Mar’atul Makhmudah, S.IP, M.IS

Oleh :
Nimas Ayu Sekarningrum
135120201111044



UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2013




Kata Pengantar

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan karunia serta hidayahnya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini.
Makalah yang berjudul Fenomena Globalisasi Politik : Terorisme ini disusun untuk tugas mata kuliah Pengantar Ilmu Politik, yang disajikan berdasarkan studi literatur internet, dan juga pengalaman kehidupan.
Saya berterima kasih pada Ibu Mar’atul Makhmudah, S.IP, M.IS selaku Dosen mata kuliah Pengantar Ilmu Politik yang telah memberikan tugas ini kepada penulis.
Saya sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah wawasan serta pengetahuan kita mengenai Globalisasi Politik dan contoh fenomenanya, serta bagaimana menanggapi hal tersebut melalui kehidupan sehari-hari.
  Penulis menyadari bahwa makalah ini belum sempurna dan memiliki kekurangan. Untuk itu penulis mengharapkan kritik serta saran dari pembaca agar kekurangan-kekurangan tersebut bisa diperbaiki untuk ke depannya. Semoga makalah ini bisa memberikan manfaat bagi penulis maupun pembaca sekalian.

                                                                           
Malang, 16 Desember 2013




Penulis




DAFTAR ISI


KATA PENGANTAR                                                                          ii
DAFTAR ISI                                                                                        iii
BAB I PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah                                               1
Rumusan Masalah                                                         1
Tujuan Penulisan Makalah                                           1
BAB II PEMBAHASAN
Fenomena Globalisasi Politik : Terorisme                    2
Terorisme Di Asia Tenggara                                        3
Kerjasama Melawan Terorisme                                    8
BAB III PENUTUP
Kesimpulan                                                                 10
Saran                                                                           11

DAFTAR PUSTAKA                                                                           

BAB I
PENDAHULUAN

·        Latar Belakang Masalah
Dalam siklus kehidupan, manusia tidak lepas dengan apa yang dinamakan globalisasi. [2]Globalisasi merupakan sebuah proses pengintegrasian manusia dengan semua aspek yang mengikutinya ke dalam sebuah kesatuan masyarakat yang lebih besar dan lebih utuh. [4]Pengertian lain menjabarkan bahwa Globalisasi adalah suatu proses di mana antar individu, antar kelompok, dan antar negara saling berinteraksi, bergantung, terkait, dan memengaruhi satu sama lain yang melintasi batas negara.
[3]Hampir semua aspek bidang disebarluaskan melalui globalisasi, tidak terkecuali bidang politik. [5]Mengapa globalisasi berkaitan dengan politik? Globalisasi dalam bidang poltik akan mempengaruhi dasar-dasar pertimbangan dan pengambilan keputusan suatu negara, globalisasi berbicara mengenai hubungan multinasional sebuah negara. Politik berbicara mengenai regulasi, kebijakan, dan tata kelola manajemen kenegaraan. Globalisasi mempengaruhi perkembangan suatu negara, dan perkembangan negara dalam segala bidang akan mempengaruhi kebijakan politik dan keputusan yang akan maupun yang sudah berlaku. Keterkaitan tersebut memberikan sebuah makna dari globalisasi politik secara sederhana, yakni berupa proses mendunia mengenai hal-hal yang berhubungan dengan politik seperti kedaulatan, teritori dan legitimasi suatu negara. [3]Perkembangan globalisasi politik pun terjadi seiring berjalannya waktu. Sekarang ini, politik sudah mengglobal karena ada perkembangan secara kontinuitas atau berkelanjutan (Mubah 2013).
[1]Dari penjelasan diatas kita bisa memahami bahwa globalisasi politik sendiri bukanlah merupakan sebuah hal yang secara alami terjadi ( natural ) namun merupakan sebuah proses yang terjadi secara sadar karena dirancang dengan terencana oleh manusia. Secara umum globalisasi politik merupakan sebuah proses dimana mengglobalnya atau mendunianya “sesuatu” yang salah satunya berkaitan mengenai batas negara atau teritori. “sesuatu” disini diartikan sebagai ide, barang dan jasa maupun aktor-aktor yang lain seperti  LSM, Kelompok Teroris maupun individu. 
Dalam makalah ini saya akan mencoba mengulas mengenai contoh fenomena globalisasi politik yakni Terorisme.

·        Rumusan Masalah
·         Apa definisi Globalisasi Politik terutama definisi Terorisme?
·         Apa fenomena baru yang terjadi dalam Terorisme?
·        Tujuan Penulisan Makalah
·         Mengetahui dan memahami tentang Definisi Globalisasi Politik terutama definisi Terorisme
·         Mengetahui fenomena baru yang terjadi dalam Globalisasi Politik yakni Terorisme.

BAB II
PEMBAHASAN
“Fenomena Globalisasi Politik : Terorisme”

 [6]Menurut Stanley Hoffman globalisasi berjalan dalam tiga bentuk yang ketiganya memiliki lingkup masalah yang berbeda, antara lain globalisasi ekonomi, kultural dan politik. Globalisasi politik sendiri merupakan produk dari dua bentuk terdahulu ditandai dengan kuatnya pengaruh Amerika Serikat dan institusi politiknya serta berbagai jaringan organisasi internasional dan regional.
Sebelum membahas mengenai fenomena terorisme sebagai globalisasi politik lebih lanjut, alangkah baiknya jika memahami apa definisi dari terorisme sendiri. [8]Menurut sebuah definisi, “Terrorism is a premeditated, politically motivated violence perpetrated against noncombatant targets by sub-national groups or clandestine agents, usually intended to influence an audience.” (Terorisme adalah tindak kekerasan yang terencana rapi dan bermotivasikan politis, ditujukan kepada target sipil dan dilancarkan oleh kelompok sempalan nasional atau agen-agen klandestin dengan tujuan untuk mempengaruhi khalayak). Terorisme sendiri (dari bahasa latin teror, kengerian) adalah tindakan destruktif yang misterius. Terorisme adalah misteri karena kemunculannya yang mendadak dan menggetarkan.
Dalam definisi lain dikatakan tujuan tindak teror adalah menciptakan state of terror (suasana teror/ketakutan) dan juga rasa cemas dan chaos yang berkepanjangan di dalam masyarakat. Ia mewakili kepentingan pihak small group yang tak mudah dilacak. Small group bisa berasal dari berbagai latar belakang dan kepentingan, misalnya ideologi, sosial-politik, agama, atau bahkan kepentingan pribadi sekalipun.
Perlu diperhatikan bahwa sebuah fenomena lain menjadi proxy yang mengiringi meluasnya fenomena globalisasi. Setelah Perang Dingin usai, dan juga setelah aksi serangan terorisme ke New York dan Washington DC pada 2001, dunia semakin menaruh perhatian pada fenomena kejahatan transnasional terorganisasi (transnational organized crime/TOC). Kemungkinan pertemuan kepentingan antara kelompok kejahatan transnasional dengan kelompok teroris mengubah cara pandang secara drastis mengenai TOC. Sebelumnya, persoalan kejahatan terorganisasi seringkali dianggap sebagai persoalan kriminal biasa dan karenanya hanya berhubungan dengan ketertiban dan sama sekali bukan persoalan mengenai keamanan (security).
Globalisasi sering dianggap sebagai penyebab meluasnya fenomena TOC ini. Globalisasi jelas mendorong meluasnya modus bisnis legal yang melintas batas negara, namun pada saat yang sama ia juga memberi peluang pada meluasnya bisnis illegal karena kemudahan yang ditawarkan oleh kemajuan pesat dalam teknologi, utamanya teknologi komunikasi dan transportasi. Akibatnya, konsumerisme dan komersialisme Barat yang dicitrakan melalui gaya hidup dan kemakmuran yang ditransfer melalui citra televisi, internet dan lain-lain, mendorong orang untuk mendapatkannya dengan cara mudah yakni melalui bisnis-bisnis illegal. Akibatnya, kelompok-kelompok bisnis illegal, yang sering disebut sebagai kelompok black dollar, meningkat pesat jumlahnya di berbagai tempat di dunia.
Manifestasi dari bisnis illegal TOC ini sangat beragam, di antaranya adalah meluasnya akses atas pembelian senjata bagi aktor-aktor non-negara, baik perorangan maupun kelompok. Sejak pertengahan 1990-an, pasar senjata semakin terfragmentasi yang ditandai dengan bermunculannya banyak produsen senjata baru di dunia. Sebelumnya, selama masa Perang Dingin, pasar global untuk senjata ringan ini sangat dikuasai oleh dua negara super power yaitu Uni Soviet dan Amerika Serikat. Akibatnya, kontrol atas produksi dan transfer senjata menjadi jauh lebih sulit dilakukan. Pada akhirnya, hal ini mengubah struktur industri senjata dan membuatnya semakin bisa diakses oleh lebih banyak pihak di luar negara.
 [7]Jika kita menaruh sudut pandang lain perihal penyebab terjadinya terorisme, disadari atau tidak, lahirnya terorisme merupakan produk dari marjinalisasi dan kemiskinan, sedangkan marjinalisasi dan kemiskinan adalah produk dari globalisasi. Negara maju yang memiliki teknologi tinggi berada dalam kelompok penikmat keuntungan globalisasi. Namun negara-negara miskin dengan segala keterbatasannya akan semakin jauh tertinggal sehingga kesenjangan antara si kaya dan si miskin semakin lebar. Kemiskinan dan ketidakadilan akan terus menjadi lingkaran setan yang tak pernah putus. Karena itulah muncul perlawanan dari kelompok-kelompok tertindas baik dalam negara maupun intra-state yang tentunya mengancam stabilitas keamanan kawasan regional dan bahkan internasional.
Terorisme bukanlah hal baru, sebab bila merujuk pada tindakan kekerasan untuk menyebarkan ketakutan masal, hal itu telah dilakukan pada abad I Masehi. Saat itu kelompok sekte Yahudi yang dikenal dengan nama Zealot berjuang melawan kekaisaran Romawi di Judea dengan cara membunuh warga biasa di siang hari di tengah kota Yerusalem. Pembunuhan dilakukan oleh sicarii atau orang-orang bergolok yang menyembunyikan sica atau golok di balik jubahnya. Dalam aksinya mereka juga tidak segan-segan menculik petugas kuil demi mendapat tebusan serta menggunakan racun dalam skala besar.
Istilah teror pertama kali dikenal pada zaman revolusi Perancis. Regime de le terreur dipakai untuk menyebut pemerintah hasil Revolusi Perancis tahun 1795 yang menggunakan kekerasan secara brutal kepada orang-orang anti-pemerintah. Istilah ini semakin banyak digunakan pada 1970-an. Ketika itu teror yang terjadi berskala nasional atau lingkup domestik saja. Namun seiring perubahan tata dunia, teror pun meningkat skalanya menjadi global.
Menurut Donald Hamilton dalam Political Terrorism, terorisme didefinisikan sebagai penggunaan ancaman terus menerus dan juga kekerasan oleh sekelompok orang untuk tujuan politik dengan menimbulkan ketakutan, memunculkan perhatian yang luas, dan atau memprovokasi kekerasan.
Ø  Terorisme Di Asia Tenggara
Di Asia Tenggara sendiri kelompok-kelompok teroris sudah merajalela ke setiap wilayah. Asia Tenggara semakin mendapat sorotan dunia internasional lantaran sejumlah peristiwa teror yang terjadi secara bertubi-tubi. Korban dalam jumlah besar dan target serangan yang merupakan simbol-simbol Barat merupakan persamaan dari serentetan teror yang terjadi di Indonesia, negara yang terletak di kawasan Asia Tenggara. Pelaku teror ditengarai suatu kelompok yang memiliki hubungan dengan Al Qaeda (AQ) di Afghanistan, bernama Jemaah Islamiyah. Padahal AQ diindikasikan sebagai kelompok yang bertanggungjawab atas teror 11 November 2001 di AS.
Teror memang bukan hal baru di Asia Tenggara, sebab ada beberapa kelompok pemberontak yang kerap menggunakan kekerasan sehingga menyebarkan ketakutan di masyarakat. Berikut ini adalah beberapa kelompok pemberontak dan teroris yang ada di Asia Tenggara.
No
Kelompok
Negara
Tujuan
Keterangan
Status
1
Pattani United Liberation Organization PULO
Thailand
Pemisahan diri, membentuk Negara Islam
Motivasi keagamaan, diduga memiliki hubungan dengan Abu Sayyaf Group (ASG)
2
Guragan Mujahideen Islam Pattani
Thailand
Pemisahan diri, membentuk Negara Islam
Motivasi keagamaan, diduga memiliki hubungan dengan AQ and JI
3
Wae Ka Raeh
Thailand
Pemisahan diri, membentuk Negara Islam
Motivasi keagamaan, diduga memiliki hubungan dengan AQ and JI
4
Hmong Guerilla
Laos
Tuntutan otonomi/ pemisahan diri
Ethnonationalis
5
Cambodian Freedom Fighters (CFF)
Cambodia
Politik lokal
6
Khmer Rouge
Cambodia
Politik lokal
7
Karen National Union
Myanmar
Tuntutan otonomi/ pemisahan diri
Ethnonationalis
8
Kachin Defense Army
Myanmar
Tuntutan otonomi/ pemisahan diri
Ethnonationalist
9
Eastern Shan State Army
Myanmar
Tuntutan otonomi/ pemisahan diri
Ethnonationalist
10
Ommat Liberation Front
Myanmar
Tuntutan otonomi/ pemisahan diri
Ethnonationalis
11
Kawthoolei Muslim Liberation Front
Myanmar
Tuntutan otonomi/ pemisahan diri
Ethnonationalis
12
Muslim Liberation Organization of Burma
Myanmar
Tuntutan otonomi/ pemisahan diri
Ethnonationalis
13
Jemaah Islamiyah
Indonesia, Malaysia, Singapura, Thailand, Filipina, Kamboja
Membentuk Negara Islam di Asia Tenggara
Motivasi keagamaan, terkait dengan AQ
Dimasukkan dalam daftar organisasi teroris oleh AS dan PBB
14
Abu Sayyaf Group (ASG)
Filipina Selatan
Pemisahan diri, membentuk Negara Islam
Motivasi keagamaan, terkait dengan AQ
Dimasukkan dalam daftar organisasi teroris oleh AS
15
Moro Islamic Liberation Front (MILF)
Filipina Selatan
Tuntutan Otonomi, pemisahan diri, dan pembentukan negara Islam
Motivasi keagamaan, terkait dengan JI
16
Moro National Liberation Front (MNLF)
Filipina Selatan
Tuntutan Otonomi, pemisahan diri
Ethnonationalis
17
New People’s Army
Filipina
Politik lokal
Komunis
Dimasukkan dalam daftar organisasi teroris oleh AS

Di kawasan Asia Tenggara peristiwa teror banyak terjadi di Indonesia, Filipina dan Thailand. JI diduga berada di balik teror yang melanda Indonesia, sedangkan Abu Sayyaf bertanggunggawab atas teror yang terjadi di Filipina, dan kelompok pemberontak adalah pihak yang kerap menebar ketakutan lewat sejumlah aksi kekerasan di Thailand. Tidak mengherankan jika 3 kelompok tersebut, utamanya JI, paling sering disebut-sebut sebagai pihak yang bertanggungjawab apabila terjadi insiden teror.
*   Jemaah Islamiyah
Kelompok ini berakar dari Darul Islam, yakni sebuah gerakan yang menginginkan diterapkannya hukum Islam di Indonesia. Darul Islam berkembang di akhir tahun 1940an dan terus berupaya melawan pemerintahan RI. Pada 1969, Abu Bakar Ba’asyir bersama dengan Abdullah Sungkar diduga melakukan operasi untuk mengembangkan Darul Islam.
Menurut PG Rajamohan dalam tulisannya tentang JI, di era pemerintahan Soeharto, Ba’asyir pernah dijebloskan ke penjara tanpa peradilan lantaran dinilai membahayakan. Karenanya usai keluar dari penjara, Ba’asyir memilih pergi ke Malaysia pada 1985 dan menjadi guru mengaji. Saat itulah dia dianggap sebagai pendiri JI, di mana pengikutnya tersebar hingga di luar Malaysia. Ba’asyir bahkan merekrut sukarelawan untuk berjuang melawan Brigade anti-Muslim Soviet di Afghanistan.
Pada 1990, Ba’asyir bertemu Hambali, seorang pria yang menginginkan berdirinya kekhalifahan Islam di Asia Tenggara yang meliputi Indonesia, Malaysia, Singapura, Thailand, Filipina, Brunai dan Kamboja. Kemudian Ba’asyir menjadi pemimpin politik organisasi tersebut, sedangkan Hambali menjadi pemimpin militer. Bahkan Hambali mendirikan perusahaan Konsojaya untuk memfasilitasi pencucian uang sebagai bentuk dukungan pada keuangan dan logistic JI. Meski demikian Ba’asyir menyatakan dirinya tidak terkait dan tidak tahu menahu tentang JI.
Rajamohan berpendapat, JI mendukung gerakan Islam di seluruh dunia. Berdasar laporan AS, banyak pemimpin JI yang mendapat pelatihan di camp teroris Pakistan dan Afghanistan. Karena itulah mereka memiliki hubungan dekat dengan Al Qaeda dan Taliban. Lebih dari itu, AQ juga diyakini sebagai sumber pendana utama bagi JI dan menyediakan logistik untuk mendukung kegiatan teroris.
Peneliti terorisme Sydney Jones memaparkan, JI dibagi dalam 4 wilayah operasi di Asia Tenggara, yakni:
Mantiqi 1: Malaysia, Singapura dan Thailand Selatan. Menitikberatkan pada pendanaan.
Mantiqi 2: Indonesia (Jawa dan Sumatera). Dititikberatkan sebagai wilayah jihad.
Mantiqi 3: Filipina, Brunei Darussalam, Malaysia Timur, Indonesia (Kalimantan dan Sulawesi). Dititikberatkan sebagai daerah pelatihan.
Mantiqi 4: Australia. Menitikberatkan pada aspek ekonomi dan pendanaan.
Tujuan utama dari JI adalah membentuk Negara Islam yang meliputi Thailand, Malaysia, Singapura, Indonesia dan Filipina. Aksi teror yang dilakukan JI seperti terlihat dalam pengeboman di Bali dan di Jakarta adalah tipikal AQ, di mana yang menjadi target serangan adalah kepentingan AS dan sekutunya. Sejak tahun 2000, JI aktif melakukan teror yang antara lain dengan melakukan pengeboman di Bali pada 2002 dan 2005, pengeboman Kedubes AS di Jakarta, pengeboman Hotel JW Marriott Jakarta pada 2004, dan yang terbaru adalah pengeboman Hotel Ritz Carlton dan JW Marriott Jakarta pada pertengahan 2009.
Deplu AS menyatakan, pada 2001 diperkirakan ada 200 kegiatan yang dilakukan anggota JI di Malaysia. Di saat yang sama, pemerintah Singapura memperkirakan total anggota JI hampir 5.000 orang.
*   Abu Sayyaf Group (ASG)
Kelompok Abu Sayyaf terbentuk pada 1991 dan berlokasi di Filipina selatan. Pendirinya adalah Abduragak Abubakar Janjalani yang tewas tertembak oleh polisi pada 1998. Pemimpin selanjutnya yakni Khaddafi Janjalani pernah masuk dalam daftar teroris paling dicari oleh FBI sebelum tewas pada 2006. Jumlah anggotanya kadang menurun dan di waktu lain meningkat tajam, bahkan pernah tercatat ada 4.000 orang yang menjadi anggota aktif.
Tujuan kelompok ini adalah mendirikan negara Islam di Mindanao Barat dan di Kepulauan Sulu untuk selanjutnya mendirikan pan negara Islam di Asia Tenggara. ASG dikenal sebagai kelompok separatis paling keras. Mereka menggunakan teror untuk mendapatkan keuntungan finansial ataupun dalam menyerukan jihad. Kelompok ini tidak segan-segan menculik, mengebom, membunuh, dan juga pemerasan. ASG ditengarai memiliki keterkaitan dengan JI karena mereka pernah memberikan tempat perlindungan bagi anggota JI dari Indonesia yang menjadi buron.
Aksi kekerasan di Filipina juga dilakukan kelompok separatis Moro Islamic Liberation Front (MILF) yang beroperasi di Mindanao, Kepulauan Sulu, Basilan dan Jolo. Sejak 1978 kelompok ini telah melakukan pemberontakan bersifat militer terhadap pemerintahan Filipina. Anggota organisasi ini sebelumnya tergabung Moro National Liberation Front (MNLF). Pemisahan dilakukan karena MNLF bersedia berdamai dengan pemerintah.
Seperti halnya dengan ASG, MILF juga memiliki hubungan istimewa dengan JI. MILF telah memberikan izin untuk dilakukannya latihan militer bagi anggota JI di kamp-kamp yang dimilikinya. Kelompok ini juga kerap memberikan bantuan kepada ASG yang beroperasi di Basilan dan Jolo.
Keterkaitan Kelompok Pengguna Teror di Asia Tenggara
ASG
MILF
Kelompok Pemberontak di Thailand
JI
ASG pernah memberikan tempat perlindungan bagi anggota JI dari Indonesia yang menjadi buron.
MILF telah memberikan izin untuk dilakukannya latihan militer bagi anggota JI di kamp-kamp yang dimilikinya.
Mantiqi 3 yang juga meliputi Filipina Selatan memiliki hubungan dekat dengan MILF dalam mendapatkan senjata dan bahan peledak untuk mendukung pelatihan dan operasi.
Bersama dengan JI, kelompok pemberontak WKR bergabung dan berjuang bersama kaum Mujahidin di Afghanistan.
AQ
Pendiri ASG adalah teman dari petinggi AQ, Osama bin Laden dna telah mengikuti pelatihan pada akhir 1980 di dekat Khost, Afghanistan.
Pada Desember 1991 hingga Mei 1992, seorang anggota Al Qaeda mendapat tugas melatih anggota ASG untuk membuat bom.
MILF pernah mengirimkan sekitar 700 anggotanya untuk mengikuti pelatihan militer dan bergabung dengan mujahidin di Afghanistan.
MILF mendapatkan pbantuan pelatihan dari AQ yang dilakukan di Mindanao dan Afghanistan.
Salah satu anggota AQ membuat organisasi amal di Filipina untuk menyediakan bantuan melalui pendanaan pembangunan di bawah kontrol MILF.
WKR membantu mujahidin berjuang Afghanistan.

Ø  Kerjasama Melawan Terorisme
Terorisme yang pada awalnya berskala lokal meningkat menjadi skala global. Ancaman terorisme kepada satu negara berarti menjadi ancaman bagi negara lainnya. Karena itu dalam melawan terorisme suatu negara tidak bisa bekerja sendiri melainkan perlu kerjasama dengan negara-negara lainnya. Kerjasama regional dipilih sebagai kegiatan awal untuk menghadang dan menumpas terorisme. Tidak hanya itu, kerjasama lintas kawasan selanjutnya juga dipilih untuk menambah kekuatan yang telah dimiliki.
Melalui ASEAN
ASEAN secara bertahap telah menanggapi isu terorisme melalui serangkaian pertemuan dalam forum-forum resminya. Tindakan bersama untuk menanggulangi terorisme dideklarasikan di Brunai Darusalam, dua bulan sejak tragedi 9/11 pada 2001, yakni pada pertemuan puncak ASEAN ketujuh. Pada saat itu tidak semua negara ASEAN mendukung penuh perang global melawan terorisme yang digadang-gadang AS. Meski begitu ASEAN menunjukkan itikadnya untuk memerangi terorisme. Misalnya saja pada Mei 2002 di Kuala Lumpur, Malaysia, digelar ASEAN Ministerial Meeting on Transnational Crime (AMMTC) yang menghasilkan rencana aksi melawan terorisme. Dukungan memerangi terorisme juga disampaikan ASEAN dalam pertemuan puncak ASEAN di Pnom Penh pada November 2002 atau sebulan sejak Bom Bali I.
Dalam memerangi terorisme, negara ASEAN sepakat untuk meningkatkan pertukaran informasi dan intelijen untuk mengidentifikasi secara cepat pihak-pihak yang diduga teroris atau terlibat dalam kelompok teroris, termasuk pergerakan dan pendanaannya. Pemberian informasi terkait dengan perlindungan kehidupan, property dan keamanan berbagai moda perjalanan juga akan ditingkatkan.
Disepakati pula bahwa kerjasama dan koordinasi yang telah berjalan akan semakin diperkuat, antara lain dengan mengoptimalkan AMMTC dengan badan ASEAN lainnya yang relevan untuk mengkonter, mencegah dan menekan berbagai bentuk kegiatan teror. Dengan demikian maka kemampuan menginvestigasi, mendeteksi, memonitor dan melaporkan kegiatan teroris akan berkembang. Selanjutnya apabila teroris sudah tertangkap akan diproses hukum dengan mengajukannya ke pengadilan.
Setahun kemudian, ASEAN menyepakati adanya program pelatihan dalam mengkonter terorisme termasuk operasi psikologi dan pengadaan intelijen. Diberikan pula kursus pendeteksian bom dan bahan peledak, investigasi pasca peledakan, keamanan bandara, keamanan dokumen (termasuk paspor) dan juga inspeksi.
Pada Mei 2002, digelar pula Konferensi ASEAN Chiefs of Police (ASEANAPOL) di Phnom Penh. Hasil dari konferensi tersebut adalah komitmen bersama dalam memerangi tindakan terorisme.
yang lebih luas pun diperlukan untuk menghambat langkah teroris tersebut. ASEAN pun menggandeng negara-negara di kawasan Asia Timur yang memiliki perekonomian dan teknologi yang lebih maju untuk berjuang bersama mengatasi terorisme dalam kerangka ASEAN + 3 (Jepang, China, Republic of Korea (ROK). Mengingat negara-negara rekan ASEAN tersebut memiliki teknologi yang lebih maju, maka ASEAN diharapkan memperoleh transfer teknologi dan bantuan dalam pembangunan kapasitas manusia. Penguasaan teknologi semakin penting karena pelaku kejahatan pun memanfaatkannya untuk melancarkan aksinya.


BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Globalisasi dapat diprediksi tapi tidak bisa dihindari. Berbagai konsekwensi akan menyertai berjalannya proses tersebut. Suka atau tidak, globalisasi yang telah menyediakan berbagai kemudahan juga berpotensi semakin memperlebar kesenjangan antara si kaya dan si miskin. Proses globalisasi tidak hanya mendorong integrasi ekonomi pada tingkat global dan memperluas rembesan nilai demokrasi serta hak asasi manusia, tetapi sekaligus mendorong perluasan jaringan kejahatan. Berbagai jenis kejahatan akhirnya menjadi kejahatan transnasional. Bibit-bibit terorisme pun semakin bertambah subur.
Sebelumnya, terorisme hanya berskala nasional. Namun seiring melajunya globalisasi, terorisme semakin menakutkan karena berjalan dan meluas begitu cepat. Pengaruh dan jaringan terorisme berkembang sebegitu rupanya karena dukungan teknologi informasi dan transportasi yang maju. Upaya mereka dengan gampang mencapai hasil jika sistem keamanan dan pengamanan dalam negeri dibiarkan rapuh dan amburadul.
Pasca tragedi 9/11 di AS, terorisme juga tampak tumbuh dengan pesat di Asia Tenggara. Hal itu mungkin terjadi karea secara topografi, kawasan Asia Tenggara membuat teroris lebih mudah melakukan aksinya. Ribuan pulau-pulau kecil yang tersebar luas menyulitkan penjagaan pantai. Apalagi ada banyak hutan di Asia Tenggara yang kemudian dijadikan kamp pelatihan bagi para teroris. Karena itulah negara tidak bisa bekerja sendiri memberantas terorisme melainkan membutuhkan kerjasama dengan negara-negara lainnya. Semakin luas kerjasama yang terjalin maka ruang bagi terorisme akan semakin sempit. Bila terorisme sudah mengglobal, maka diperlukan upaya global untuk mengatasinya. Bila terorisme memanfaatkan kemajuan teknologi, maka upaya perlawanannya juga harus memanfaatkan kemajuan teknologi.
Terorisme adalah masalah serius karena berpotensi mengganggu eksistensi negara. Karena itulah diperlukan upaya yang serius pula. Sudah saatnya negara ASEAN berpikir lebih maju lagi.
Namun harus tetap disadari, suatu negara tidak boleh terlalu bergantung kepada negara lainnya untuk melawan terorisme. Karena untuk mengatasi suatu hal perlu mengetahui apa sebab hal itu muncul. Apabila terorisme muncul karena kebijakan pemerintah yang tidak adil, maka perlu pembenahan akan hal itu. Selain itu perlu adanya rehabilitasi dan reintegrasi pihak-pihak yang pernah terlibat dalam terorisme.

Dari pembahasan mengenai terorisme diatas, setidaknya terdapat empat unsur pokok dalam kegiatan terorisme yaitu:
·         Tindak kekerasan yang terencana dengan rapi dan bukan bersifat spontan.
·         Perbuatan yang berlatar belakang politis bukan kriminal tapi dalam pelaksanaannya kerap melakukan tindakan kriminal untuk mencapai tujuan. Politis dalam arti bertujuan untuk menjungkirbalikkan sistem pemerintahan atau sistem politik yang ada.
·         Sasaran terorisme kebanyakan adalah masyarakat sipil, bukan instalasi militer ataupun pasukan bersenjata karena tindak terorisme memilih sasaran yang dapat menimbulkan efek psikologis yang tinggi untuk menimbulkan rasa takut dan mendapatkan publikasi yang luas.
·         Dilancarkan oleh kelompok-kelompok sempalan di dalam negeri (atau di luar negeri) yang merasa tidak puas atau bahkan marah terhadap kebijakan yang dibuat oleh pemerintah di suatu negara.

Saran
Terorisme bukan sebuah persoalan mudah yang kemudian hanya pemerintah ataupun aparat keamanan yang memaksimalkan kinerja mereka untuk menyelesaikan persoalan mengenai terorisme. Akan tetapi rakyat sendiri juga harus membuka mata lebar-lebar pada setiap kejanggalan yang memungkinkan akan adanya tindakan kelompok teroris disekitar mereka. Kita sebagai masyarakat bukan hanya bisa berdiam diri dan hanya melihat tanpa mendukung dan bergerak apatis, namun alangkah baiknya kita juga menjadi rakyat yang aktif dengan cara melaporkan setiap tindak kejanggalan yang berpotensi terbentuknya komplotan teroris baru. Kita bukan masyarakat bodoh yang akan selalu ketakutan tanpa turut berbenah dalam mengurangi setiap tindakan berbahaya yang akan menelan banyak korban. Ini adalah ancaman untuk setiap negara dan berbenah dalam menemukan cara bekerjasama dalam menghadapi setiap teror akan lebih membantu dalam mempertahankan stabilitas keamanan negara. Globalisasi politik ini memang tidak mampu dihindari, tapi mampu kita kurangi dengan cara tersebut.



DAFTAR PUSTAKA


Sumber Internet :

Tidak ada komentar:

Posting Komentar