MATA KULIAH PENGANTAR
ILMU POLITIK
“FENOMENA
GLOBALISASI POLITIK : TERORISME”
Dosen Pembina :
Ibu Mar’atul Makhmudah,
S.IP, M.IS
Oleh :
Nimas Ayu Sekarningrum
135120201111044
UNIVERSITAS
BRAWIJAYA
MALANG
2013
Kata Pengantar
Puji syukur penulis
panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan karunia serta
hidayahnya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini. 
Makalah yang berjudul “Fenomena Globalisasi Politik : Terorisme” ini disusun untuk tugas mata kuliah Pengantar Ilmu
Politik, yang disajikan berdasarkan studi literatur internet, dan juga pengalaman kehidupan.
Saya
berterima kasih pada Ibu Mar’atul Makhmudah, S.IP, M.IS selaku Dosen mata kuliah Pengantar Ilmu Politik yang telah
memberikan tugas ini kepada penulis.
Saya sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah wawasan serta pengetahuan kita mengenai Globalisasi Politik dan contoh fenomenanya, serta bagaimana menanggapi hal tersebut melalui kehidupan sehari-hari.
Saya sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah wawasan serta pengetahuan kita mengenai Globalisasi Politik dan contoh fenomenanya, serta bagaimana menanggapi hal tersebut melalui kehidupan sehari-hari.
  Penulis menyadari
bahwa makalah ini belum sempurna dan memiliki kekurangan. Untuk itu penulis mengharapkan
kritik serta saran dari pembaca agar kekurangan-kekurangan tersebut bisa
diperbaiki untuk ke depannya. Semoga makalah ini bisa memberikan
manfaat bagi penulis maupun pembaca sekalian. 
Malang, 16 Desember 2013
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR                                                                          ii
DAFTAR ISI                                                                                        iii
BAB I PENDAHULUAN
Latar Belakang
Masalah                                               1
Rumusan Masalah                                                         1
Tujuan
Penulisan Makalah                                           1
BAB II PEMBAHASAN
Fenomena Globalisasi
Politik : Terorisme                    2
Terorisme Di
Asia Tenggara                                        3
Kerjasama
Melawan Terorisme                                    8
BAB III PENUTUP
Kesimpulan                                                                 10
Saran                                                                           11
DAFTAR PUSTAKA                                                                           
BAB I
PENDAHULUAN
·       
Latar Belakang Masalah
Dalam
siklus kehidupan, manusia tidak lepas dengan apa yang dinamakan globalisasi. [2]Globalisasi
merupakan sebuah proses pengintegrasian manusia dengan semua aspek yang
mengikutinya ke dalam sebuah kesatuan masyarakat yang lebih besar dan lebih
utuh. [4]Pengertian lain menjabarkan bahwa Globalisasi adalah suatu
proses di mana antar individu, antar kelompok, dan antar negara saling
berinteraksi, bergantung, terkait, dan memengaruhi satu sama lain yang
melintasi batas negara.
[3]Hampir semua aspek bidang disebarluaskan melalui
globalisasi, tidak terkecuali bidang politik. [5]Mengapa globalisasi
berkaitan dengan politik? Globalisasi dalam
bidang poltik akan mempengaruhi dasar-dasar pertimbangan dan pengambilan
keputusan suatu negara, globalisasi berbicara mengenai hubungan multinasional
sebuah negara. Politik berbicara mengenai regulasi, kebijakan, dan tata kelola
manajemen kenegaraan. Globalisasi
mempengaruhi perkembangan suatu negara, dan perkembangan negara dalam segala
bidang akan mempengaruhi kebijakan politik dan keputusan yang akan maupun yang
sudah berlaku. Keterkaitan tersebut memberikan sebuah makna dari globalisasi
politik secara sederhana, yakni berupa proses mendunia mengenai hal-hal yang
berhubungan dengan politik seperti kedaulatan, teritori dan legitimasi suatu
negara. [3]Perkembangan globalisasi politik pun terjadi seiring
berjalannya waktu. Sekarang ini, politik sudah mengglobal karena ada perkembangan
secara kontinuitas atau berkelanjutan (Mubah 2013).
[1]Dari penjelasan diatas kita bisa memahami bahwa
globalisasi politik sendiri bukanlah merupakan sebuah hal yang secara alami
terjadi ( natural ) namun merupakan sebuah proses yang terjadi secara sadar
karena dirancang dengan terencana oleh manusia. Secara umum globalisasi politik
merupakan sebuah proses dimana mengglobalnya atau mendunianya “sesuatu” yang salah
satunya berkaitan mengenai batas negara atau teritori. “sesuatu” disini
diartikan sebagai ide, barang dan jasa maupun aktor-aktor yang lain seperti 
LSM, Kelompok Teroris maupun individu. 
Dalam makalah ini saya akan
mencoba mengulas mengenai contoh fenomena globalisasi politik yakni Terorisme. 
·       
Rumusan Masalah
·        
Apa definisi Globalisasi Politik terutama definisi Terorisme?
·        
Apa fenomena baru yang terjadi dalam Terorisme?
·       
Tujuan Penulisan Makalah
·        
Mengetahui dan memahami tentang Definisi Globalisasi Politik
terutama definisi Terorisme
·        
Mengetahui fenomena baru yang terjadi dalam Globalisasi Politik
yakni Terorisme.
BAB II
PEMBAHASAN
“Fenomena Globalisasi Politik
: Terorisme”
 [6]Menurut Stanley Hoffman globalisasi berjalan dalam tiga
bentuk yang ketiganya memiliki lingkup masalah yang berbeda, antara lain
globalisasi ekonomi, kultural dan politik. Globalisasi politik sendiri merupakan
produk dari dua bentuk terdahulu ditandai dengan kuatnya pengaruh Amerika
Serikat dan institusi politiknya serta berbagai jaringan organisasi
internasional dan regional. 
Sebelum
membahas mengenai fenomena terorisme sebagai globalisasi politik lebih lanjut,
alangkah baiknya jika memahami apa definisi dari terorisme sendiri. [8]Menurut
sebuah definisi, “Terrorism is a premeditated,
politically motivated violence perpetrated against
noncombatant targets by sub-national groups or
clandestine agents, usually intended to influence an audience.” (Terorisme
adalah tindak kekerasan yang terencana rapi dan bermotivasikan politis,
ditujukan kepada target sipil dan dilancarkan oleh kelompok sempalan nasional
atau agen-agen klandestin dengan tujuan untuk mempengaruhi khalayak). Terorisme
sendiri (dari bahasa latin teror, kengerian) adalah tindakan destruktif yang
misterius. Terorisme adalah misteri karena kemunculannya yang mendadak dan
menggetarkan.
Dalam definisi lain dikatakan tujuan tindak teror
adalah menciptakan state of terror (suasana teror/ketakutan) dan juga rasa
cemas dan chaos yang berkepanjangan di dalam masyarakat. Ia mewakili
kepentingan pihak small group yang tak mudah dilacak.
Small group bisa berasal dari berbagai latar belakang dan kepentingan, misalnya
ideologi, sosial-politik, agama, atau bahkan kepentingan pribadi sekalipun.
Perlu diperhatikan
bahwa sebuah fenomena lain menjadi proxy yang mengiringi meluasnya fenomena
globalisasi. Setelah Perang Dingin usai, dan juga setelah aksi serangan
terorisme ke New York dan Washington DC pada 2001, dunia semakin menaruh
perhatian pada fenomena kejahatan transnasional terorganisasi (transnational organized crime/TOC). Kemungkinan pertemuan kepentingan antara kelompok
kejahatan transnasional dengan kelompok teroris mengubah cara pandang secara
drastis mengenai TOC. Sebelumnya, persoalan kejahatan terorganisasi seringkali
dianggap sebagai persoalan kriminal biasa dan karenanya hanya berhubungan
dengan ketertiban dan sama sekali bukan persoalan mengenai keamanan (security).
Globalisasi sering
dianggap sebagai penyebab meluasnya fenomena TOC ini. Globalisasi jelas
mendorong meluasnya modus bisnis legal yang melintas batas negara, namun pada
saat yang sama ia juga memberi peluang pada meluasnya bisnis illegal karena
kemudahan yang ditawarkan oleh kemajuan pesat dalam teknologi, utamanya
teknologi komunikasi dan transportasi. Akibatnya, konsumerisme dan
komersialisme Barat yang dicitrakan melalui gaya hidup dan kemakmuran yang
ditransfer melalui citra televisi, internet dan lain-lain, mendorong orang
untuk mendapatkannya dengan cara mudah yakni melalui bisnis-bisnis illegal.
Akibatnya, kelompok-kelompok bisnis illegal, yang sering disebut sebagai
kelompok black dollar, meningkat pesat jumlahnya di berbagai tempat di dunia.
Manifestasi dari
bisnis illegal TOC ini sangat beragam, di antaranya adalah meluasnya akses atas
pembelian senjata bagi aktor-aktor non-negara, baik perorangan maupun kelompok.
Sejak pertengahan 1990-an, pasar senjata semakin terfragmentasi yang ditandai dengan
bermunculannya banyak produsen senjata baru di dunia. Sebelumnya, selama masa
Perang Dingin, pasar global untuk senjata ringan ini sangat dikuasai oleh dua
negara super power yaitu Uni Soviet dan Amerika Serikat. Akibatnya, kontrol
atas produksi dan transfer senjata menjadi jauh lebih sulit dilakukan. Pada
akhirnya, hal ini mengubah struktur industri senjata dan membuatnya semakin
bisa diakses oleh lebih banyak pihak di luar negara.
 [7]Jika kita menaruh sudut pandang lain perihal penyebab
terjadinya terorisme, disadari atau tidak, lahirnya terorisme merupakan produk
dari marjinalisasi dan kemiskinan, sedangkan marjinalisasi dan kemiskinan
adalah produk dari globalisasi. Negara maju yang memiliki teknologi tinggi
berada dalam kelompok penikmat keuntungan globalisasi. Namun negara-negara
miskin dengan segala keterbatasannya akan semakin jauh tertinggal sehingga
kesenjangan antara si kaya dan si miskin semakin lebar. Kemiskinan dan
ketidakadilan akan terus menjadi lingkaran setan yang tak pernah putus. Karena
itulah muncul perlawanan dari kelompok-kelompok tertindas baik dalam negara
maupun intra-state yang tentunya mengancam stabilitas keamanan kawasan regional
dan bahkan internasional. 
Terorisme bukanlah hal
baru, sebab bila merujuk pada tindakan kekerasan untuk menyebarkan ketakutan
masal, hal itu telah dilakukan pada abad I Masehi. Saat itu kelompok sekte
Yahudi yang dikenal dengan nama Zealot berjuang melawan kekaisaran Romawi di
Judea dengan cara membunuh warga biasa di siang hari di tengah kota Yerusalem.
Pembunuhan dilakukan oleh sicarii atau orang-orang bergolok yang menyembunyikan
sica atau golok di balik jubahnya. Dalam aksinya mereka juga tidak segan-segan
menculik petugas kuil demi mendapat tebusan serta menggunakan racun dalam skala
besar.
Istilah teror pertama kali
dikenal pada zaman revolusi Perancis. Regime de le terreur dipakai untuk
menyebut pemerintah hasil Revolusi Perancis tahun 1795 yang menggunakan
kekerasan secara brutal kepada orang-orang anti-pemerintah. Istilah ini semakin
banyak digunakan pada 1970-an. Ketika itu teror yang terjadi berskala nasional
atau lingkup domestik saja. Namun seiring perubahan tata dunia, teror pun
meningkat skalanya menjadi global.
Menurut Donald Hamilton
dalam Political Terrorism, terorisme didefinisikan sebagai penggunaan ancaman
terus menerus dan juga kekerasan oleh sekelompok orang untuk tujuan politik
dengan menimbulkan ketakutan, memunculkan perhatian yang luas, dan atau
memprovokasi kekerasan.
Ø  Terorisme Di Asia
Tenggara 
Di Asia Tenggara sendiri
kelompok-kelompok teroris sudah merajalela ke setiap wilayah. Asia Tenggara semakin
mendapat sorotan dunia internasional lantaran sejumlah peristiwa teror yang
terjadi secara bertubi-tubi. Korban dalam jumlah besar dan target serangan yang
merupakan simbol-simbol Barat merupakan persamaan dari serentetan teror yang
terjadi di Indonesia, negara yang terletak di kawasan Asia Tenggara. Pelaku
teror ditengarai suatu kelompok yang memiliki hubungan dengan Al Qaeda (AQ) di
Afghanistan, bernama Jemaah Islamiyah. Padahal AQ diindikasikan sebagai
kelompok yang bertanggungjawab atas teror 11 November 2001 di AS.
Teror memang bukan hal baru di Asia
Tenggara, sebab ada beberapa kelompok pemberontak yang kerap menggunakan
kekerasan sehingga menyebarkan ketakutan di masyarakat. Berikut ini adalah
beberapa kelompok pemberontak dan teroris yang ada di Asia Tenggara.
| 
   
No 
 | 
  
   
Kelompok 
 | 
  
   
Negara 
 | 
  
   
Tujuan 
 | 
  
   
Keterangan 
 | 
  
   
Status 
 | 
 
| 
   
1 
 | 
  
   
Pattani United Liberation Organization
  PULO 
 | 
  
   
Thailand 
 | 
  
   
Pemisahan diri, membentuk Negara Islam 
 | 
  
   
Motivasi keagamaan, diduga memiliki
  hubungan dengan Abu Sayyaf Group (ASG) 
 | 
  |
| 
   
2 
 | 
  
   
Guragan Mujahideen Islam Pattani 
 | 
  
   
Thailand 
 | 
  
   
Pemisahan diri, membentuk Negara Islam 
 | 
  
   
Motivasi keagamaan, diduga memiliki
  hubungan dengan AQ and JI 
 | 
  |
| 
   
3 
 | 
  
   
Wae Ka Raeh 
 | 
  
   
Thailand 
 | 
  
   
Pemisahan diri, membentuk Negara Islam 
 | 
  
   
Motivasi keagamaan, diduga memiliki
  hubungan dengan AQ and JI 
 | 
  |
| 
   
4 
 | 
  
   
Hmong Guerilla 
 | 
  
   
Laos 
 | 
  
   
Tuntutan otonomi/ pemisahan diri 
 | 
  
   
Ethnonationalis 
 | 
  |
| 
   
5 
 | 
  
   
Cambodian Freedom Fighters (CFF) 
 | 
  
   
Cambodia 
 | 
  
   
Politik lokal 
 | 
  ||
| 
   
6 
 | 
  
   
Khmer Rouge 
 | 
  
   
Cambodia 
 | 
  
   
Politik lokal 
 | 
  ||
| 
   
7 
 | 
  
   
Karen National Union 
 | 
  
   
Myanmar 
 | 
  
   
Tuntutan otonomi/ pemisahan diri 
 | 
  
   
Ethnonationalis 
 | 
  |
| 
   
8 
 | 
  
   
Kachin Defense Army 
 | 
  
   
Myanmar 
 | 
  
   
Tuntutan otonomi/ pemisahan diri 
 | 
  
   
Ethnonationalist 
 | 
  |
| 
   
9 
 | 
  
   
Eastern Shan State Army 
 | 
  
   
Myanmar 
 | 
  
   
Tuntutan otonomi/ pemisahan diri 
 | 
  
   
Ethnonationalist 
 | 
  |
| 
   
10 
 | 
  
   
Ommat Liberation Front 
 | 
  
   
Myanmar 
 | 
  
   
Tuntutan otonomi/ pemisahan diri 
 | 
  
   
Ethnonationalis 
 | 
  |
| 
   
11 
 | 
  
   
Kawthoolei Muslim Liberation Front 
 | 
  
   
Myanmar 
 | 
  
   
Tuntutan otonomi/ pemisahan diri 
 | 
  
   
Ethnonationalis 
 | 
  |
| 
   
12 
 | 
  
   
Muslim Liberation Organization of Burma 
 | 
  
   
Myanmar 
 | 
  
   
Tuntutan otonomi/ pemisahan diri 
 | 
  
   
Ethnonationalis 
 | 
  |
| 
   
13 
 | 
  
   
Jemaah Islamiyah 
 | 
  
   
Indonesia, Malaysia, Singapura,
  Thailand, Filipina, Kamboja 
 | 
  
   
Membentuk Negara Islam di Asia Tenggara 
 | 
  
   
Motivasi keagamaan, terkait dengan AQ 
 | 
  
   
Dimasukkan dalam daftar organisasi
  teroris oleh AS dan PBB 
 | 
 
| 
   
14 
 | 
  
   
Abu Sayyaf Group (ASG) 
 | 
  
   
Filipina Selatan 
 | 
  
   
Pemisahan diri, membentuk Negara Islam 
 | 
  
   
Motivasi keagamaan, terkait dengan AQ 
 | 
  
   
Dimasukkan dalam daftar organisasi
  teroris oleh AS 
 | 
 
| 
   
15 
 | 
  
   
Moro Islamic Liberation Front (MILF) 
 | 
  
   
Filipina Selatan 
 | 
  
   
Tuntutan Otonomi, pemisahan diri, dan
  pembentukan negara Islam 
 | 
  
   
Motivasi keagamaan, terkait dengan JI 
 | 
  |
| 
   
16 
 | 
  
   
Moro National Liberation Front (MNLF) 
 | 
  
   
Filipina Selatan 
 | 
  
   
Tuntutan Otonomi, pemisahan diri 
 | 
  
   
Ethnonationalis 
 | 
  |
| 
   
17 
 | 
  
   
New People’s Army 
 | 
  
   
Filipina 
 | 
  
   
Politik lokal 
 | 
  
   
Komunis 
 | 
  
   
Dimasukkan dalam daftar organisasi
  teroris oleh AS 
 | 
 
Di kawasan Asia Tenggara peristiwa teror
banyak terjadi di Indonesia, Filipina dan Thailand. JI diduga berada di balik
teror yang melanda Indonesia, sedangkan Abu Sayyaf bertanggunggawab atas teror
yang terjadi di Filipina, dan kelompok pemberontak adalah pihak yang kerap
menebar ketakutan lewat sejumlah aksi kekerasan di Thailand. Tidak mengherankan
jika 3 kelompok tersebut, utamanya JI, paling sering disebut-sebut sebagai
pihak yang bertanggungjawab apabila terjadi insiden teror.
Kelompok ini berakar
dari Darul Islam, yakni sebuah gerakan yang menginginkan diterapkannya hukum
Islam di Indonesia. Darul Islam berkembang di akhir tahun 1940an dan terus
berupaya melawan pemerintahan RI. Pada 1969, Abu Bakar Ba’asyir bersama dengan
Abdullah Sungkar diduga melakukan operasi untuk mengembangkan Darul Islam.
Menurut PG Rajamohan dalam tulisannya
tentang JI, di era pemerintahan Soeharto, Ba’asyir pernah dijebloskan ke
penjara tanpa peradilan lantaran dinilai membahayakan. Karenanya usai keluar
dari penjara, Ba’asyir memilih pergi ke Malaysia pada 1985 dan menjadi guru
mengaji. Saat itulah dia dianggap sebagai pendiri JI, di mana pengikutnya
tersebar hingga di luar Malaysia. Ba’asyir bahkan merekrut sukarelawan untuk
berjuang melawan Brigade anti-Muslim Soviet di Afghanistan.
Pada 1990, Ba’asyir bertemu Hambali,
seorang pria yang menginginkan berdirinya kekhalifahan Islam di Asia Tenggara
yang meliputi Indonesia, Malaysia, Singapura, Thailand, Filipina, Brunai dan
Kamboja. Kemudian Ba’asyir menjadi pemimpin politik organisasi tersebut,
sedangkan Hambali menjadi pemimpin militer. Bahkan Hambali mendirikan
perusahaan Konsojaya untuk memfasilitasi pencucian uang sebagai bentuk dukungan
pada keuangan dan logistic JI. Meski demikian Ba’asyir menyatakan dirinya tidak
terkait dan tidak tahu menahu tentang JI.
Rajamohan berpendapat, JI mendukung
gerakan Islam di seluruh dunia. Berdasar laporan AS, banyak pemimpin JI yang
mendapat pelatihan di camp teroris Pakistan dan Afghanistan. Karena itulah
mereka memiliki hubungan dekat dengan Al Qaeda dan Taliban. Lebih dari itu, AQ
juga diyakini sebagai sumber pendana utama bagi JI dan menyediakan logistik
untuk mendukung kegiatan teroris.
Peneliti terorisme Sydney Jones
memaparkan, JI dibagi dalam 4 wilayah operasi di Asia Tenggara, yakni:
Mantiqi 1: Malaysia, Singapura dan
Thailand Selatan. Menitikberatkan pada pendanaan.
Mantiqi 2: Indonesia (Jawa dan Sumatera).
Dititikberatkan sebagai wilayah jihad.
Mantiqi 3: Filipina, Brunei Darussalam,
Malaysia Timur, Indonesia (Kalimantan dan Sulawesi). Dititikberatkan sebagai
daerah pelatihan.
Mantiqi 4: Australia. Menitikberatkan pada
aspek ekonomi dan pendanaan.
Tujuan utama dari JI adalah membentuk
Negara Islam yang meliputi Thailand, Malaysia, Singapura, Indonesia dan
Filipina. Aksi teror yang dilakukan JI seperti terlihat dalam pengeboman di
Bali dan di Jakarta adalah tipikal AQ, di mana yang menjadi target serangan
adalah kepentingan AS dan sekutunya. Sejak tahun 2000, JI aktif melakukan teror
yang antara lain dengan melakukan pengeboman di Bali pada 2002 dan 2005,
pengeboman Kedubes AS di Jakarta, pengeboman Hotel JW Marriott Jakarta pada
2004, dan yang terbaru adalah pengeboman Hotel Ritz Carlton dan JW Marriott
Jakarta pada pertengahan 2009.
Deplu AS menyatakan, pada 2001
diperkirakan ada 200 kegiatan yang dilakukan anggota JI di Malaysia. Di saat
yang sama, pemerintah Singapura memperkirakan total anggota JI hampir 5.000
orang.
Kelompok Abu Sayyaf
terbentuk pada 1991 dan berlokasi di Filipina selatan. Pendirinya adalah
Abduragak Abubakar Janjalani yang tewas tertembak oleh polisi pada 1998.
Pemimpin selanjutnya yakni Khaddafi Janjalani pernah masuk dalam daftar teroris
paling dicari oleh FBI sebelum tewas pada 2006. Jumlah anggotanya kadang
menurun dan di waktu lain meningkat tajam, bahkan pernah tercatat ada 4.000
orang yang menjadi anggota aktif.
Tujuan kelompok ini
adalah mendirikan negara Islam di Mindanao Barat dan di Kepulauan Sulu untuk
selanjutnya mendirikan pan negara Islam di Asia Tenggara. ASG dikenal sebagai
kelompok separatis paling keras. Mereka menggunakan teror untuk mendapatkan
keuntungan finansial ataupun dalam menyerukan jihad. Kelompok ini tidak
segan-segan menculik, mengebom, membunuh, dan juga pemerasan. ASG ditengarai
memiliki keterkaitan dengan JI karena mereka pernah memberikan tempat
perlindungan bagi anggota JI dari Indonesia yang menjadi buron.
Aksi kekerasan di
Filipina juga dilakukan kelompok separatis Moro Islamic Liberation Front (MILF)
yang beroperasi di Mindanao, Kepulauan Sulu, Basilan dan Jolo. Sejak 1978
kelompok ini telah melakukan pemberontakan bersifat militer terhadap
pemerintahan Filipina. Anggota organisasi ini sebelumnya tergabung Moro
National Liberation Front (MNLF). Pemisahan dilakukan karena MNLF bersedia
berdamai dengan pemerintah.
Seperti halnya dengan ASG, MILF juga
memiliki hubungan istimewa dengan JI. MILF telah memberikan izin untuk
dilakukannya latihan militer bagi anggota JI di kamp-kamp yang dimilikinya.
Kelompok ini juga kerap memberikan bantuan kepada ASG yang beroperasi di
Basilan dan Jolo.
Keterkaitan Kelompok Pengguna Teror di
Asia Tenggara
| 
   
ASG 
 | 
  
   
MILF 
 | 
  
   
Kelompok Pemberontak
  di Thailand 
 | 
 |
| 
   
JI 
 | 
  
   
ASG pernah memberikan tempat
  perlindungan bagi anggota JI dari Indonesia yang menjadi buron. 
 | 
  
   
MILF telah memberikan izin untuk
  dilakukannya latihan militer bagi anggota JI di kamp-kamp yang dimilikinya. 
Mantiqi 3 yang juga meliputi Filipina
  Selatan memiliki hubungan dekat dengan MILF dalam mendapatkan senjata dan
  bahan peledak untuk mendukung pelatihan dan operasi. 
 | 
  
   
Bersama dengan JI, kelompok pemberontak
  WKR bergabung dan berjuang bersama kaum Mujahidin di Afghanistan. 
 | 
 
| 
   
AQ 
 | 
  
   
Pendiri ASG adalah teman dari petinggi
  AQ, Osama bin Laden dna telah mengikuti pelatihan pada akhir 1980 di dekat
  Khost, Afghanistan. 
Pada Desember 1991 hingga Mei 1992,
  seorang anggota Al Qaeda mendapat tugas melatih anggota ASG untuk membuat
  bom. 
 | 
  
   
MILF pernah mengirimkan sekitar 700
  anggotanya untuk mengikuti pelatihan militer dan bergabung dengan mujahidin
  di Afghanistan. 
MILF mendapatkan pbantuan pelatihan dari
  AQ yang dilakukan di Mindanao dan Afghanistan. 
Salah satu anggota AQ membuat organisasi
  amal di Filipina untuk menyediakan bantuan melalui pendanaan pembangunan di
  bawah kontrol MILF. 
 | 
  
   
WKR membantu mujahidin berjuang
  Afghanistan. 
 | 
 
Ø 
Kerjasama
Melawan Terorisme
Terorisme yang pada awalnya
berskala lokal meningkat menjadi skala global. Ancaman terorisme kepada satu
negara berarti menjadi ancaman bagi negara lainnya. Karena itu dalam melawan
terorisme suatu negara tidak bisa bekerja sendiri melainkan perlu kerjasama
dengan negara-negara lainnya. Kerjasama regional dipilih sebagai kegiatan awal
untuk menghadang dan menumpas terorisme. Tidak hanya itu, kerjasama lintas
kawasan selanjutnya juga dipilih untuk menambah kekuatan yang telah dimiliki.
Melalui ASEAN
ASEAN secara bertahap telah
menanggapi isu terorisme melalui serangkaian pertemuan dalam forum-forum
resminya. Tindakan bersama untuk menanggulangi terorisme dideklarasikan di
Brunai Darusalam, dua bulan sejak tragedi 9/11 pada 2001, yakni pada pertemuan
puncak ASEAN ketujuh. Pada saat itu tidak semua negara ASEAN mendukung penuh
perang global melawan terorisme yang digadang-gadang AS. Meski begitu ASEAN
menunjukkan itikadnya untuk memerangi terorisme. Misalnya saja pada Mei 2002 di
Kuala Lumpur, Malaysia, digelar ASEAN Ministerial Meeting on Transnational
Crime (AMMTC) yang menghasilkan rencana aksi melawan terorisme. Dukungan
memerangi terorisme juga disampaikan ASEAN dalam pertemuan puncak ASEAN di Pnom
Penh pada November 2002 atau sebulan sejak Bom Bali I.
Dalam memerangi terorisme, negara ASEAN sepakat
untuk meningkatkan pertukaran informasi dan intelijen untuk mengidentifikasi
secara cepat pihak-pihak yang diduga teroris atau terlibat dalam kelompok
teroris, termasuk pergerakan dan pendanaannya. Pemberian informasi terkait
dengan perlindungan kehidupan, property dan keamanan berbagai moda perjalanan
juga akan ditingkatkan.
Disepakati pula bahwa kerjasama dan koordinasi yang
telah berjalan akan semakin diperkuat, antara lain dengan mengoptimalkan AMMTC
dengan badan ASEAN lainnya yang relevan untuk mengkonter, mencegah dan menekan
berbagai bentuk kegiatan teror. Dengan demikian maka kemampuan menginvestigasi,
mendeteksi, memonitor dan melaporkan kegiatan teroris akan berkembang.
Selanjutnya apabila teroris sudah tertangkap akan diproses hukum dengan
mengajukannya ke pengadilan.
Setahun kemudian, ASEAN menyepakati adanya program
pelatihan dalam mengkonter terorisme termasuk operasi psikologi dan pengadaan
intelijen. Diberikan pula kursus pendeteksian bom dan bahan peledak,
investigasi pasca peledakan, keamanan bandara, keamanan dokumen (termasuk
paspor) dan juga inspeksi.
Pada Mei 2002, digelar pula Konferensi ASEAN Chiefs
of Police (ASEANAPOL) di Phnom Penh. Hasil dari konferensi tersebut adalah
komitmen bersama dalam memerangi tindakan terorisme.
yang lebih luas pun diperlukan untuk menghambat
langkah teroris tersebut. ASEAN pun menggandeng negara-negara di kawasan Asia
Timur yang memiliki perekonomian dan teknologi yang lebih maju untuk berjuang
bersama mengatasi terorisme dalam kerangka ASEAN + 3 (Jepang, China, Republic
of Korea (ROK). Mengingat negara-negara rekan ASEAN tersebut memiliki teknologi
yang lebih maju, maka ASEAN diharapkan memperoleh transfer teknologi dan
bantuan dalam pembangunan kapasitas manusia. Penguasaan teknologi semakin
penting karena pelaku kejahatan pun memanfaatkannya untuk melancarkan aksinya.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Globalisasi dapat
diprediksi tapi tidak bisa dihindari. Berbagai konsekwensi akan menyertai
berjalannya proses tersebut. Suka atau tidak, globalisasi yang telah
menyediakan berbagai kemudahan juga berpotensi semakin memperlebar kesenjangan
antara si kaya dan si miskin. Proses globalisasi tidak hanya mendorong
integrasi ekonomi pada tingkat global dan memperluas rembesan nilai demokrasi
serta hak asasi manusia, tetapi sekaligus mendorong perluasan jaringan
kejahatan. Berbagai jenis kejahatan akhirnya menjadi kejahatan transnasional.
Bibit-bibit terorisme pun semakin bertambah subur.
Sebelumnya, terorisme hanya
berskala nasional. Namun seiring melajunya globalisasi, terorisme semakin menakutkan
karena berjalan dan meluas begitu cepat. Pengaruh dan jaringan terorisme
berkembang sebegitu rupanya karena dukungan teknologi informasi dan
transportasi yang maju. Upaya mereka dengan gampang mencapai hasil jika sistem
keamanan dan pengamanan dalam negeri dibiarkan rapuh dan amburadul.
Pasca tragedi 9/11 di AS,
terorisme juga tampak tumbuh dengan pesat di Asia Tenggara. Hal itu mungkin
terjadi karea secara topografi, kawasan Asia Tenggara membuat teroris lebih
mudah melakukan aksinya. Ribuan pulau-pulau kecil yang tersebar luas
menyulitkan penjagaan pantai. Apalagi ada banyak hutan di Asia Tenggara yang
kemudian dijadikan kamp pelatihan bagi para teroris. Karena itulah negara tidak
bisa bekerja sendiri memberantas terorisme melainkan membutuhkan kerjasama
dengan negara-negara lainnya. Semakin luas kerjasama yang terjalin maka ruang
bagi terorisme akan semakin sempit. Bila terorisme sudah mengglobal, maka
diperlukan upaya global untuk mengatasinya. Bila terorisme memanfaatkan
kemajuan teknologi, maka upaya perlawanannya juga harus memanfaatkan kemajuan
teknologi.
Terorisme adalah masalah
serius karena berpotensi mengganggu eksistensi negara. Karena itulah diperlukan
upaya yang serius pula. Sudah saatnya negara ASEAN berpikir lebih maju lagi.
Namun harus tetap disadari,
suatu negara tidak boleh terlalu bergantung kepada negara lainnya untuk melawan
terorisme. Karena untuk mengatasi suatu hal perlu mengetahui apa sebab hal itu
muncul. Apabila terorisme muncul karena kebijakan pemerintah yang tidak adil,
maka perlu pembenahan akan hal itu. Selain itu perlu adanya rehabilitasi dan
reintegrasi pihak-pihak yang pernah terlibat dalam terorisme.
Dari pembahasan mengenai
terorisme diatas, setidaknya terdapat empat unsur pokok dalam kegiatan
terorisme yaitu:
·        
Tindak
kekerasan yang terencana dengan rapi dan bukan bersifat spontan.
·        
Perbuatan yang
berlatar belakang politis bukan kriminal tapi dalam pelaksanaannya kerap
melakukan tindakan kriminal untuk mencapai tujuan. Politis dalam arti bertujuan
untuk menjungkirbalikkan sistem pemerintahan atau sistem politik
yang ada.
·        
Sasaran
terorisme kebanyakan adalah masyarakat sipil, bukan instalasi militer ataupun
pasukan bersenjata karena tindak terorisme memilih sasaran yang dapat
menimbulkan efek psikologis yang tinggi untuk menimbulkan rasa takut dan
mendapatkan publikasi yang luas.
·        
Dilancarkan
oleh kelompok-kelompok sempalan di dalam negeri (atau di luar negeri) yang
merasa tidak puas atau bahkan marah terhadap kebijakan yang dibuat oleh
pemerintah di suatu negara.
Saran
Terorisme bukan sebuah persoalan mudah
yang kemudian hanya pemerintah ataupun aparat keamanan yang memaksimalkan
kinerja mereka untuk menyelesaikan persoalan mengenai terorisme. Akan tetapi
rakyat sendiri juga harus membuka mata lebar-lebar pada setiap kejanggalan yang
memungkinkan akan adanya tindakan kelompok teroris disekitar mereka. Kita
sebagai masyarakat bukan hanya bisa berdiam diri dan hanya melihat tanpa
mendukung dan bergerak apatis, namun alangkah baiknya kita juga menjadi rakyat
yang aktif dengan cara melaporkan setiap tindak kejanggalan yang berpotensi
terbentuknya komplotan teroris baru. Kita bukan masyarakat bodoh yang akan
selalu ketakutan tanpa turut berbenah dalam mengurangi setiap tindakan
berbahaya yang akan menelan banyak korban. Ini adalah ancaman untuk setiap
negara dan berbenah dalam menemukan cara bekerjasama dalam menghadapi setiap
teror akan lebih membantu dalam mempertahankan stabilitas keamanan negara.
Globalisasi politik ini memang tidak mampu dihindari, tapi mampu kita kurangi
dengan cara tersebut.
Sumber Internet :

Tidak ada komentar:
Posting Komentar