Rabu, 11 Maret 2015

DALAM KUANTITATIF || Nimas Ayu Sekarningrum (135120201111044)


  • Berbicara mengenai penelitian kuantitatif, terdapat beberapa ciri penelitian kuantitatif, antara lain :
  1. Didominasi data kuantitatif yang berupa angka-angka. Mengapa? Karena penelitian kuantitatif memegang aliran positivistik yang memiliki anggapan bahwa realitas itu nyata dan universal. Ada hukum umum yang mengatur perilaku kita diluar diri kita. Dengan kata lain positivistik ini memandang secara objektif dalam penelitian kuantitatif. Sehingga dalam penelitian kuantitatif yang memandang secara objektif memerlukan ukuran standar yang dapat diukur agar mampu mrenghasilkan data penelitian yang valid dan reliabel. Data yang berupa angka-angka dalam penelitian kuantitatif dianggap merupakan data yang sudah baku dan konkret untuk menjamin validitas suatu data atau untuk memberikan hasil yang dapat terukur dalam melakukan penelitian. Meskipun demikian, penekanan pada kata 'didominasi' memberikan pengertian bahwa pengukuran berbentuk kualitatif sebenarnya juga bisa dilakukan dalam riset kuantitatif. Seperti yang dikutip dari Kriyantono (2006:39) yang menjelaskan bahwa dalam riset tidak semua hasil pengukuran berbemtuk kuantitatif, namun memungkinkan berbentuk kualitatif, misalnya berkaitan dengan ukuran tak berwujud.
  2. Alat ukur terpisah dari diri peneliti.  Dalam penelitian kuantitatif alat ukur yang digunakan tidak memperbolehkan peneliti mencampuri data dalam penelitian dengan data subyektif yang berasal dari opini atau interpretasi peneliti sendiri tentang penelitiannya. Karena penelitian kuantitatif memiliki pendekatan positivistik maka data yang dihasilkan merupakan data objektif yang bukan hasil yang dia simpulkan sendiri melainkan bersumber dari data di luar diri peneliti. Itulah sebabnypeneliti dituntut bersikap objektif dan memisahkan diri dari data. Peneliti tidak boleh membuat batasan konsep maupun alat ukur data sekehendak hatinya sendiri karena hasil analisis suatu penelitian haruslah benar-benar objektif tanpa melibatkan pemikiran intrapersonal si peneliti.
  3. Desain penelitian ditetapkan di awal. Mengapa? Karena desain penelitian berisi tahapan apa saja yang harus dilalui dalam melakukan suatu penelitian. sehingga desain penelitian bisa dikatakan menjadi peta kita untuk melakukan penelitian. Desain penelitian ini harus ditentukan sebelum penelitian dimulai, yaitu sebelum pengumpulan data dimulai. Hal ini dilakukan untuk memudahkan peneliti, seperti dalam Kriyantono (2006:88) yang menyebutkan bahwa desain riset ini pada dasarnya memudahkan periset agar proses rietnya terarah dan sistematis. Selain itu, desain harus objektif yakni instrumen penelitian (kuesioner) sudah teruji validitas dan reliabilitasnya dan pemilihan sampel terjamin representasinya. Penekanan yang dibuat disini ialah mengenai validitas instrumen penelitian atau alat ukur dalam penelitian diharuskan sesuai dengan apa yang diukur dan pemilihan sampel juga harus dapat mewakili seluruh populasi yang akan digunakan untuk data penelitian.
  4. Bertujuan menguji atau menerapkan teori/konsep/model/preposisi. Diartikan bahwa tujuan penelitian yakni untuk menguji teori, konsep, model maupun preposisi. Tujuan ini dimaksudkan untuk melihat pengaplikasian dari teori yang dicetuskan, maupun untuk menguji kebenaran teori melalui keluasan data yang dihasilkan penelitian kuantitatif, serta membuktikan relevan tidaknya teori dalam penerapannya dari masa ke masa. dalam Kriyantono (2006:56) dijelaskan bahwa riset harus dapat digeneralisasikan, karena itu menuntut sampel yang representatif dari seluruh populasi, operasionalisasi konsep serta alat ukur yang valid dan reliabel.
  5. Posisi data, data hanya sebagai konfirmasi teori atau teori dibuktikan dengan data.  Ciri ini berkaitan dengan ciri yang ke 4 yakni tujuan dari penelitian itu sendiri untuk mnguji hipotesis maupun hipotesis. data digunakan untuk  mengetahui pembuktian dari teori yang diuji. 
  6. Cara berpikir empiris (deduktif) artinya penelitian berangkat dari konsep-konsep atau teori-teori yang melandasinya. konsep/teori ini yang akan diujikan.  Yang dimaksudkan disini adalah cara berpikir seorang peneliti yang harus rasional dengan melalui berpikir secara empiris melalui pendekatan deduktif.

  • Judul menjadi faktor penting dalam penelitian kuantitatif. Penulisan judul dalam penelitian kuantitatif semestinya mengandung metode, subjek atau objek, relevan dengan masalah, sesuai dengan tujuan penelitian dan menarik. dibawah ini terdapat tiga contoh judul penelitian, antara lain :
o    “Sikap mahasiswa terhadap pornografi” (Studi deskriptif tentang sikap terhadap  pornografi pada mahasiswa di Kota  Malang) atau
o     Mahasiswa & Pornografi (Studi deskriptif tentang sikap terhadap  pornografi pada mahasiswa di Kota  Malang)   atau
o     Studi deskriptif tentang sikap terhadap  pornografi pada mahasiswa di Kota  Malang
Dari analisis mengenai judul penelitian kuantitatif diatas, ketiga judul tersebut merupakan judul yang sesuai digunakan untuk penelitian dari kajian ilmu sosial. Ketiga nya memiliki poin-poin yang harus dimiliki sebuah judul penelitian. Metode yang digunakan ketiga judul merupakan metode deskriptif (Survei deskriptif), objek penelitian adalah sikap mahasiswa dan tujuan penelitian adalah untuk mengetahui sikap mahasiswa terhadap pornografi.
Namun tidak semua judul penelitian diatas dapat dikategorikan masuk dalam bidang kajian ilmu komunikasi. Untuk judul penelitian yang mumpuni dikategorikan dalam bidang kajian ilmu komunikasi, sebuah judul harus memiliki objek formal. Dengan kata lain di dalam sebuah judul melibatkan proses, produksi ataupun pengaruh tanda dan lambang di dalamnya.

  • Dalam penelitian kuantitatif, penelitian yang dilakukan haruslah valid dan reliabel. Untuk menjawab pertanyaan mengenai reliabilitas dan validitas, dan agar lebih memahaminya, cermati sebuah contoh kasus penelitian dibawah ini :
Masalah   : "Apakah ada hubungan sikap pemilih pemula terhadap parpol dengan sikap orang tua terhadap parpol?" 
 Instrumen  : Sikap orang tua saya terhadap PAN?
 Sikap         : a. SS  b.S  c.KS  d.TS  e.STS
Sampel      : Dipilih 100 siswa SMU

Validitas disini terbagi menjadi dua yakni validitas internal (apakah alat ukur sesuai dengan apa yang diukur, pemilihan teori atau konsep, pengukuran konsep (reliabilitas)) dan validitas eksternal (meliputi pemilihan sampel). (Kriyantono, 2006, h. 70). Dari penjabaran tersebut kita mengetahui bahwa contoh kasus penelitian diatas tidak valid. Hal ini dikarenakan beberapa alasan. Yang pertama, instrumen atau alat ukur yang digunakan seharusnya menghasilkan data yang valid dan reliabel, namun dalam contoh kasus penelitian tersebut instrumen tidak sesuai dengan masalah penelitian. Apakah mungkin menanyakan sikap orang tua, tetapi yang ditanya adalah anaknya? Harusnya untuk dapat menemukan korelasi,  yang ditanyakan adalah sikap orangtua dan juga anaknya. Selain itu,  bagaimana mungkin hanya menjadikan PAN untuk merepresentasikan seluruh parpol? 
Yang kedua, sampel seharusnya sesuai dengan objek penelitian, yakni siswa SMU (pemilih pemula) dan sampel kedua adalah orangtua.


Rujukan :
Kriyantono, R. (2006). Teknik praktis riset komunikasi. Jakarta : Kencana Perdana Media Group.


Kamis, 15 Januari 2015

UNDERSTANDING INTERCULTURAL TRANSITION (KOMUNIKASI ANTAR BUDAYA)

MAKALAH
UNDERSTANDING INTERCULTURAL TRANSITION
Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Komunikasi Antar Budaya

Dosen Pengampu Materi :
Yuyun Agus Riani S.Pd, M.Sc

Disusun oleh :
Nimas Ayu Sekarningrum                                  (135120201111044)
Riri Endiani Febria                                             (135120201111084)
Ivan Dharmawan Kuncoro                                (135120201111022)
Oldina Novalia Rahmadaniar                            (135120200111042)
Elisabeth So Raya                                              (135120200111062)

D-3
ILMU KOMUNIKASI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG

2014/2015


BAB I
PENDAHULUAN
1.1  LATAR BELAKANG
 Saat ini, manusia sudah dapat dengan mudah melakukan migrasi kemanapun yang mereka suka, baik itu di dalam negeri ataupun ke luar negeri. Tidak perlu berbulan-bulan berlayar untuk dapat mencapai suatu tempat yang jauh. Namun kini dengan adanya pesawat terbang, manusia bisa mencapai tempat tersebut hanya dengan beberapa jam saja.
Walaupun manusia sudah dapat dengan mudah melakukan migrasi, pada kenyataannya mereka tidak dapat dengan mudah beradaptasi di tempat baru dengan lingkungan dan  kebudayaan yang tentu saja juga baru. Manusia yang telah lama tinggal di daerah asalnya dengan budaya yang sudah seperti mendarah daging dalam diri sendiri, tentu saja akan mengalami kesulitan untuk bisa mengerti bahkan menerima budaya yang baru tersebut. Kesulitan tersebut bisa dalam bentuk bahasa yang berbeda sehingga manusia tidak dapat berkomunikasi dengan efektif, kebiasaan-kebiasaan yang mungkin akan sulit untuk diterima karena terasa asing ataupun lingkungan baru yang tidak sesuai dengan keinginan manusia itu sendiri.
Dapat kita lihat disini bahwa manusia yang melakukan migrasi disebut sebagai kelompok migran. Dimana kelompok migran itu sendiri terbagi menjadi dua jenis yaitu voluntary migrant (migran sukarela) dan involuntary migrant (migran tidak sukarela). Dan tentu saja kelompok migran tersebut tidak akan lepas dari keadaan dimana mereka akan merasa tidak nyaman, asing, sulit beradaptasi, dan perasaan lainnya yang diakibatkan karena perbedaan budaya tempat asal dengan tempat tujuan migrasinya. Hal ini biasa disebut sebagai culture shock, dimana mereka yang mengalaminya mungkin tidak memahami hal-hal mendasar seperti bagaimana berpakaian untuk situasi-situasi tertentu ataupun meminta tolong atau memberikan pujian kepada seseorang. Namun mereka akan menunjukkan gejala-gejala seperti kehilangan identitas, tidak percaya diri, ataupun rindu keluarga. Culture shock sendiri bukan berarti tidak dapat ditanggulangi. Setiap manusia yang memasuki budaya baru bagi dirinya, cepat atau lambat harus segera menyesuaikan diri dengan lingkungan baru agar ia tidak terisolasi dan tertekan dalam lingkungan tersebut yang pada akhirnya hal ini akan menimbulkan keadaan yang disebut sebagai migrant-host relationship.


1.2  RUMUSAN MASALAH
a.       Apa yang dimaksud dengan kelompok migran?
b.      Apa saja yang termasuk sebagai jenis kelompok migran?
c.       Apa yang dimaksud dengan culture shock?
d.      Apa saja gejala-gejala yang timbul akibat culture shock?
e.       Bagaimana cara menanggulangi culture shock?
f.       Apa definisi dari migrant-host relationship?
g.      Apa saja yang termasuk dalam migrant-host relationship?

1.3  TUJUAN PEMBAHASAN
Makalah ini dibuat dengan tujuan untuk menjelaskan dan memberikan informasi mengenai keadaan yang dialami oleh para kelompok migran saat mereka memasuki suatu wilayah baru dengan kebudayaan yang tentu saja baru dan berbeda dengan kebudayaan mereka yang lama. Para kelompok migran tersebut akan mengalami culture shock. Selain itu, makalah ini juga bertujuan untuk menjelaskan mengenai jenis-jenis dari kelompok migran itu sendiri serta mengenai fase dimana para kelompok migran tersebut mau tidak mau harus dapat beradaptasi di lingkungan baru tersebut yang hal ini akan disebut sebagai migrant-host relationship.













BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Kelompok Migran
Sebelum mengetahui pengertian kelompok migran, kita akan memahami terlebih dahulu pengertian dari migrasi. Dalam KBBI migrasi diartikan sebagai perpindahan penduduk dari satu tempat (negara, dsb.) ke tempat (negara, dsb.) lain untuk menetap. Ini merupakan pengertian dasar dari migrasi. Dalam konteks budaya, perpindahan penduduk ini kemudian dikaitkan dengan penelitian mengenai transisi budaya.  Sebuah perspektif dialektik menuntut bahwa kita meneliti transisi antarbudaya pada kedua pribadi dan tingkat kontekstual (Berry, 1992). Pada tingkat pribadi, kita bisa melihat pada pengalaman individu beradaptasi dengan konteks budaya baru. Untuk memahami transisi budaya, kita secara bersamaan harus mempertimbangkan kedua kelompok migran individu dan konteks di mana mereka melakukan perjalanan. Migrasi mungkin jangka panjang atau jangka pendek dan sukarela atau terpaksa. Migran didefinisikan sebagai seorang individu yang meninggalkan konteks budaya utama di mana ia dibesarkan dan kemudian bergerak ke konteks budaya baru untuk jangka waktu tertentu (panjang atau pendek). semua orang lahir di luar negeri dapat diklasifikasikan sebagai Migran. Ada dua jenis kelompok Migran yakni kelompok migran sukarela dan migran tidak sukarela. Dari perbandingan kedua jenis kelompok migran diatas perbedaan utama dari kelompok migran sukarela ataupun kelompok migran tidak sukarela adalah alasan mereka memutuskan ketika meninggalkan negara asal mereka.

2.1.1        Jenis Kelompok Migran
A.     Voluntary Migran (Migran Sukarela)
Migran sukarela ini disebut juga sebagai “economic migran”. Jadi setiap individu yang termasuk ke dalam migran sukarela ini melakukan migrasi ke negara lain berdasarkan kehendak bebas individu tersebut, adanya akibat dari motivasi mereka akan hal tertentu ataupun berdasarkan inisiatif. Orang-orang bermigrasi untuk berbagai alasan, dan tentunya melibatkan pilihan berat dan pilihan mudah. Individu yang tertarik dalam melakukan migrasi akan sering menganalisis faktor pendorong dan penarik dari dua lokasi sebelum membuat keputusan mereka. Faktor terkuat mempengaruhi orang untuk secara sukarela pindah adalah keinginan untuk tinggal di rumah yang lebih baik dan kesempatan kerja. Faktor-faktor lain yang berkontribusi terhadap migrasi sukarela antara lain adanya perubahan dalam proses kehidupan (menikah, kosong-sarang, pensiun, dll), politik (dari negara liberal ke keadaan konservatif, negara yang mengakui gay-pernikahan, dll), dan kepribadian individu (kehidupan pinggiran kota untuk kehidupan kota). Jangka waktu kelompok migran ini ketika melakukan migrasi bisa dalam jangka panjang ataupun jangka pendek. pengkategorian kelompok migran sukarela tersebut terbagi menjadi 2, antara lain :
a)      Sojourners
Kelompok migran ini terdiri dari para pelancong yang melakukan migrasi ke Negara atau daerah lain menuju ke konteks budaya baru dalam jangka waktu tertentu dan tujuan tertentu. Selain itu sojourners merupakan orang-orang memiliki kebebasan dan akomodasi (sarana) yang tercukupi dalam melakukan perjalanan ke daerah atau Negara lain. keinginan mereka bukan semata-mata memenuhi kebutuhan materi mereka seperti ekonomi dan sebagainya, namun sebagian besar lebih kepada menemukan pengalaman baru, pengetahuan baru atau hal yang ingin mereka dapatkan di tempat tersebut. Misalnya seperti adanya program pertukaran pelajar ke luar negeri yang memungkinkan individu merasakan budaya yang berbeda dengan budaya mereka sebelumnya. Bisa pula personalia perusahaan, dan misionaris yang pergi ke luar negeri untuk bekerja selama satu periode tertentu. Beberapa sojournes domestik berpindah dari satu daerah ke daerah lain di dalam negeri mereka sendiri untuk menghadiri sekolah atau bekerja.
Contoh nyata nya ialah salah satu pelajar Indonesia bernama Aviananda Putri yang melakukan pertukaran pelajar ke Amerika. Dengan di melakukan pertukaran ke Amerika, dia menemukan konteks budaya yang baru dan tentunya berbeda dari budaya Negara asalnya. Dari konteks budaya lama menuju budaya baru di negeri orang, banyak permasalahan yang ia hadapi dan mengharuskan nya untuk menyesuaikan diri dengan masyarakat dan kebudayaan disana.
b)      Imigran (Pendatang Baru)
Imigran ini biasanya merupakan sebuah keluarga atau anggota masyarakat yang menetap ke tempat atau Negara lain dan dengan sukarela meninggalkan Negara atau tempat asalnya. Seringkali sebuah keluarga melakukan imigrasi karena faktor ekonomi dan merasa tempat yang akan mereka jadikan tempat menetap akan lebih baik untuk mendorong kebutuhan hidup mereka daripada tempat yang saat ini mereka tinggali. Indonesia sendiri adalah sebuah negara dengan kepadatan penduduknya, banyak masyarakatnya melakukan migrasi ke luar negeri setiap tahun. Migrasi dilakukan bisa karena urgen problem atau bisa pula dikarenakan menginginkan kehidupan baru yang lebih baik.
Migrasi bagi sebagian besar penduduk suatu negara khususnya di Indonesia menjadikan migrasi sebagai kunci mereka memiliki peluang untuk mencukupi kebutuhan hidup mereka yakni adanya kesempatan kerja. Misalkan saja saat ini Indonesia telah menjadi salah satu Negara terbesar yang mengirim buruh migran (TKI) ke Negara-negara yang melakukan kerjasama bilateral dibidang ketenagakerjaan.
Ironis, sebagian besar migran yang pindah ke negara lain tidak diterima sebagai imigran resmi. Karena pergeseran dalam kebijakan politik ekonomi, anggota keluarga migran dapat terjebak di dalam negeri, tidak dapat bergabung dengan seluruh keluarga di negara rumah baru. Dari imigran yang secara resmi yang tidak diterima untuk menetap di Negara lain, adapula imigran gelap yang juga memiliki banyak alasan bermigrasi namun dengan cara yang bisa dikatakan ‘nekad’. Banyak imigran gelap ditemukan disebuah kapal angkut barang, diselundupkan dengan cara mereka bersembunyi ditempat yang pengap dan beresiko menyebabkan kematian.

B.     Involuntary Migran (Migran Terpaksa)
Involuntary Migran atau yang sering disebut sebagai Force Migran (Migrasi paksa) adalah bentuk negatif dari migrasi, yang disebabkan oleh pelbagai macam hal, seperti penganiayaan, pengembangan, dan eksploitasi. Dalam Report of the Salzburg Seminar session tahun 1995 mengenai Involuntary Migration, saat ini menjadi salah satu masalah kemanusiaan terbesar yakni mengenai hak asasi manusia dan ethnic strife (perselisihan bangsa) dimana membutuhkan sebuah lembaga internasional sebagai pendamai dan penengah. Permasalahan mengenai migrasi paksa yang terbesar dan paling menghancurkan migrasi paksa dalam sejarah manusia adalah perdagangan budak Afrika, yang membawa 12-30.000.000 orang Afrika dari rumah mereka dan membawanya ke berbagai bagian Amerika Utara, Amerika Latin, dan Timur Tengah. Masyarakat Afrika diambil bertentangan dengan keinginan mereka dan dipaksa untuk pindah.
The Trail of Tears adalah contoh lain migrasi paksa. Setelah Indian Removal Act tahun 1830, puluhan ribu penduduk asli Amerika yang tinggal Tenggara dipaksa untuk bermigrasi ke bagian Oklahoma kontemporer ("Tanah Rakyat Merah" di Choctaw). Banyak suku dilalui di sebanyak sembilan negara dengan berjalan kaki, yang mengakibatkan kematian diatasi.
Migrasi paksa tidak selalu kekerasan. Salah satu migrasi sukarela terbesar dalam sejarah disebabkan oleh pembangunan. Pembangunan China Three Gorges Dam pengungsi hampir 1,5 juta orang dan menempatkan 13 kota, 140 kota dan 1.350 desa di bawah air. Meskipun perumahan baru diberikan bagi mereka yang terpaksa pindah, banyak orang tidak kompensasi cukup. Beberapa daerah yang ditunjuk baru juga kurang ideal secara geografis, tidak foundationally aman, atau tidak memiliki tanah pertanian produktif.
Ada dua jenis migran yang masuk kategori involuntary migran yakni pengungsi jangka panjang dan pengungsi jangka pendek. Pengungsi jangka panjang (long-term refugees) merupakan orang-orang yang dipaksa untuk relokasi permanen karena perang, kelaparan dan penindasan. Menurut UNHCR Indonesia (Lembaga yang Bertanggung Jawab dalam menangani pengungsi dari luar negeri) Sampai dengan akhir Juli 2014, sejumlah 3,983 pengungsi yang sebagian besar datang dari Afghanistan (35%), Myanmar (23%), Sri Lanka (8%) dan Somalia (8%) terdaftar di UNHCR Jakarta. Sedangkan pengungsi jangka pendek merupakan pengungsi domestik untuk jangka pendek atau tidak terbatas untuk bergerak dalam suatu Negara. Orang-orang yang mengungsi akibat bencana alam merupakan salah satu contoh pengungsi jangka pendek.
2.2.  Culture Shock
Melakukan penyesuaian dengan budaya yang baru dan berbeda bagi setiap orang tidak mudah. Ketika sesorang baru saja tiba di lingkungan budaya yang sama sekali berbeda, ia akan mengalami fase di mana ia merasa canggung dan bingung dalam melakukan interaksi atau komunikasi dengan lingkungan sekitar. Keadaan inilah yang disebut dengan culture shock atau kejutan budaya.
Culture shock mengacu pada reaksi psikologis yang dialami seseorang karena berada di tengah suatu kultur yang sangat berbeda dengan kulturnya sendiri (Devito, h. 549, 2011). Setyapranata (1996) dalam Masduki (2010) menyatakan bahwa Shock budaya mengimplikasikan suatu keadaan kegelisahan atau kekhawatiran yang muncul sebagai akibat dari keterlibatan penuh di dalam suatu budaya baru.
Devito dalam bukunya The Interpersonal Communication Book mengemukakan bahwa orang yang mengalami culture shock mungkin tidak memahami hal-hal mendasar seperti :
a.       Meminta tolong atau memberikan pujian kepada seseorang
b.      Menyampaikan atau menerima undangan makan malam
c.       Seberapa dini atau terlambat dating memenuhi janji, atau seberapa lama harus berada di sana
d.      Membedakan antara kesungguhan dan gurauan, sopan santun dari ketidak pedulian
e.       Bagaimana berpakaian untuk situasi-situasi tertentu
f.       Bagaimana memesan makanan di restoran atau bagaimana memanggil pelayan.
Menurut Guanipa (1998) dalam Niam (2009) disebutkan gejala culture shock diantaranya adalah :
a.       Kesedihan, kesepian, kelengangan
b.      Preokupasi (pikiran terpaku hanya pada sebuah ide saja, yang biasanya  berhubungan dengan keadaan yang bernada emosional) dengan kesehatan
c.       Kesulitan untuk tidur, tidur terlalu banyak atau terlalu sedikit
d.      Perubahan dalam perangai, tekanan atau depresi, perasaan yang peka atau sensitive
e.       Kemarahan, sifat lekas marah, keengganan untuk berhubungan dengan orang lai
f.       Mengidentifikasi dengan budaya lama atau mengidealkan daerah lama
g.      Kehilangan identitas
h.      Berusaha terlalu keras untuk menyerap segalanya di budaya baru
i.        Tidak mampu memecahkan permasalahan sederhana
j.        Tidak percaya diri
k.      Merasa kekurangan, kehilangan dan kegelisahan
l.        Mengembangkan stereotype tentang kultur yang baru
m.    Mengembangkan obsesi seperti over-cleanliness
n.      Rindu keluarga.
Culture shock tidak selalu ketika kita pergi ke luar kota, pulau, atau melakukan perjalanan ke luar negeri. Culture shock terjadi saat kita masuk pada budaya yang baru dan sangat berbeda dari budaya yang kita pegang. Misalnya ketika seorang mahasiswa baru dengan style dan gaya hidup yang biasa saja, masuk pada lingkungan mahasiswa dengan gaya hidup yang cukup mewah, ia akan mengalami fenomena culture shock ini. Mahasiswa baru tersebut merasa minder, enggan berkumpul dengan teman-temannya, atau ragu menyampaikan pendapatnya sehingga perlahan-lahan dia berusaha menyesuaikan dirinya dengan keadaan lingkungannya.
Terjadinya culture shock bukan berarti tidak dapat ditanggulangi. Setiap orang yang memasuki budaya baru bagi dirinya, cepat atau lambat harus segera menyesuaikan diri dengan lingkungan baru agar ia tidak terisolasi dan tertekan dalam lingkungan tersebut. Kirana mengemukakan upaya-upaya menghadapi culture shock diantaranya adalah :
1.      Levine dan Adelman (1993) dalam Kirana menyebutkan seseorang dengan watak yang terbuka, fleksibel, dan toleran akan lebih mudah menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Maka, untuk menghadapi culture shock yang pertama kali harus diperhatikan adalah bagaimana diri kita. Hal ini berkaitan dengan pengalaman-pengalaman setiap individu saat berhadapan dengan hal-hal baru. Melatih diri untuk besikap terbuka dan mudah menyesuaikan dengan keadaan akan memudahkan kita untuk beradaptasi dan masuk pada budaya-budaya baru.
2.      Kecakapan atau skill juga merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi seseorang dalam beradaptasi. Kecakapan ini menyangkut kemampuan seseorang dalam menguasai atau memahami segala sesuatu mengenai lingkungan baru yang didatanginya, seperti bahasa, adat istiadat, budaya, kebiasaan dan lain-lain.
3.      Motivasi juga menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi seseorang dalam beradaptasi. Jika seseorang memiliki motivasi untuk pindah ke lingkungan yang baru, maka ia akan dengan mudah dapat beradaptasi.
2.4  Migrant-Host Relationship
Seorang Psikolog Sosial John Berry (1992) menggolongkan hubungan antara pendatang dan penduduk asli menjadi berdasarkan perilakunya terhadap budaya masing masing dan akhirnya membagi kedalam empat tipe hubungan yaitu, asimilasi, separasi, integrasi, dan marjinalisasi. Namun terdapat pula masyarakat yang bukan tergabung dalam ke-empat golongan tersebut karena migran terus berubah-ubah menyesuaikan dengan konteksnya. (Martin & Nakayama, 2010)

Migrants Value Host/Majority Culture

Migrants Devalue Host/Majority Culture

Migrants devalue own/minority culture

Assimilation
Marginalization

Hybridity
Migrants value own/minority culture

Integration
Separation

2.4.1        Asimilasi
Ketika berada disuatu lingkungan baru individu akan berusaha untuk beradaptasi. Dalam asimilasi individu tidak menginginkan identitas budaya yang terisolasi namun ingin mempertahankan hubungan dengan kelompok baru di dalam kebudayaan yang baru. Asimilasi adalah pembauran dua kebudayaan yang disertai dengan hilangnya ciri khas kebudayaan asli sehingga membentuk kebudayaan baru. Asimilasi berarti nilai kebudayaan yang terdapat pada budaya lama atau asalnya tidak dipertahankan lagi.
      Hasil penelitian oleh African Americans and Hispanic Americans menunjukan bahwa penyebab dari asimilasi adalah tekanan dari masyarakat lokal terhadap pendatang. Ketika ia memiliki banyak pengalaman diskriminasi akhirnya semakin berkurang keinginan mereka untuk mempertahankan kebudayaannya sendiri (Ruggiero, Taylor, & Lambert, 1996)  dalam (Martin & Nakayama, 2010).


Ø  Syarat terjadinya Asimilasi:
1.      Terdapat sejumlah kelompok yang memiliki kebudayaan berbeda.
2.      Terjadi pergaulan antar individu atau kelompok secara intensif dan dalam waktu yang relatif lama.
3.      Kebudayaan masing-masing kelompok tersebut saling berubah dan menyesuaikan diri.
Ø  Faktor Pendorong terjadinya Asimilasi:
1.      Toleransi di antara sesama kelompok yang berbeda kebudayaan
2.      Kesempatan yang sama dalam bidang ekonomi
3.      Kesediaan menghormati dan menghargai orang asing dan kebudayaan yang dibawanya.
4.      Sikap terbuka dari golongan yang berkuasa dalam masyarakat
5.      Persamaan dalam unsurunsur kebudayaan universal
6.      Perkawinan antara kelompok yang berbeda budaya
7.      Mempunyai musuh yang sama dan meyakini kekuatan masingmasing untuk menghadapi musuh tersebut.
Ø  Faktor penghambat terjadinya Asimilasi:
1.      Faktor-faktor umum yang dapat menjadi penghalang terjadinya asimilasi antara lain sebagai berikut.
2.      Kelompok yang terisolasi atau terasing (biasanya kelompok minoritas)
3.      Kurangnya pengetahuan mengenai kebudayaan baru yang dihadapi
4.      Prasangka negative terhadap pengaruh kebudayaan baru. Kekhawatiran ini dapat diatasi dengan meningkatkan fungsi lembaga-lembagakemasyarakatan
5.      Perasaan bahwa kebudayaan kelompok tertentu lebih tinggi daripada kebudayaan kelompok lain. Kebanggaan berlebihan ini mengakibatkan kelompok yang satu tidak mau mengakui keberadaan kebudayaan kelompok lainnya
6.      Perbedaan ciri-ciri fisik, seperti tinggi badan, warna kulit atau rambut
7.      Perasaan yang kuat bahwa individu terikat pada kebudayaan kelompok yang bersangkutan
8.      Golongan minoritas mengalami gangguan dari kelompok penguasa.

§  Contoh Kasus:
Ani lahir dan besar di Madura dan saat ini ia melanjutkan pendidikan ke Malang. Bahasa di Madura sangat khas sekali, orang biasa bahkan jawa pun masih sulit untuk memahaminya. Selain itu nada bicara orang madura juga tinggi sehingga bagi yang tidak memahami mungkin akan mengira Ani marah. Ani paham jika ia menggunakan bahasa Madura tidak akan ada yang memahaminya sehingga ia mencoba untuk berbahasa Indonesia. Namun, ketika ia secara tidak sengaja menggunakan bahasa Madura teman-teman selalu menertawakannya. Ani akhirnya mulai malu dan oleh karena itu ia berusaha untuk tidak terlalu menunjukkan identitas Maduranya ketika berkomunikasi dengan teman-teman di Malang.

2.4.2        Separasi
Separasi dibedakan menjadi dua tipe, yang pertama adalah ketika imigran memilih untuk mempertahankan budaya aslinya dan menghindari interaksi dengan kelompok lain. Lalu tipe yang kedua adalah segregasi. Segregasi terjadi ketika masyarakat dominan menekan dan menginisiasi pemisahan kepada imigran.
§  Contoh Kasus:
Suku Dayak dan Madura pada awalnya hidup berdampingan dengan damai di Sampit, Kalimantan Tengah. Namun akhirnya suku Dayak sebagai masyarakat dominan merasa jika daerah mereka secara perlahan dikuasai oleh suku Madura khususnya dalam bidang ekonomi. Akhirnya konflik terjadi dan pecahlah perang sampit. Suku Dayak berusaha memusnahkan suku Madura yang ada di Sampit sampai akhirnya banyak dari mereka meninggal dan tidak ada orang Madura lagi di Sampit.

2.4.3        Integrasi
Integrasi adalah proses yang terjadi dari integrasi budaya dimana anggota dari sebuah etnis atau kebudayaan, seperti imigran, yang biasanya merupakan golongan minoritas, diterima dalam komunitas baru yang lebih besar.
§  Contoh Kasus
Pendatang di Amerika Serikat dari India, tetap melakukan festival kebudayaan mereka “Navatri” saat disana. Masyarakat dominan AS pun mengijinkan dan tidak menjadikannya suatu permasalahan.


2.4.4        Marjinalisasi
Marjinalisasi terjadi ketika individu atau kelompok tidak mampu beradaptasi di antara budaya yang dominan. Hal ini menyebabkan mereka tidak dapat berpartisipasi penih dalam kehidupan sosial dan politik.
§  Contoh Kasus:
Para pelaku yang telah terbukti menginisiasi Gerakan 30 September Partai Komunis Indonesia (G30SPKI) diberikan sanksi sosial oleh masyarakat dan pemerintah. Mereka dikucilkan dan tidak diberi hak sebagai warga Negara bahkan hal ini juga berlaku bagi anak dan keluarga mereka.

2.4.5        Cultural Hybridity
Tipe ini terjadi ketika seorang imigran dan keluarganya melakukan kombinasi dalam berhubungan dengan penduduk lokal, jadi sewaktu-waktu mereka berasimilasi, lalu diwaktu yang lain melakukan integrasi, dan dapat melakukan separasi atau bahkan memilih untuk melakukan marjinalisasi (Martin & Nakayama, 2010).
Tipe ini juga terjadi ketika seseorang lahir dan berasal dari suatu tempat lalu pindah ke tempat lain dan tinggal untuk waktu yang cukup lama. Hal ini menyebabkan ia menggabungkan dua kebudayaan tersebut, namun pasti tetap ada yang dominan.
§  Contoh Kasus
Ina lahir di Padang, ia menghabiskan masa kecilnya disana lalu pindah ke Surabaya dan menetap sampai ia menikah. Ina merasa sebagai bagian dari kedua kebudayaan tersebut, ia bisa berbahasa padang dan juga sudah lancar berbahasa jawa, ia pun juga merasa memiliki kedua kebudayaan tersebut, meski ia tetap merasa sebagai orang padang.







BAB III
PENUTUP

3.1 KESIMPULAN
 Setiap manusia yang melakukan migrasi, baik itu secara sukarela maupun tidak sukarela, pasti akan mengalami suatu keadaan dimana mereka tidak dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan dan kebudayaan yang baru karena adanya perbedaan dengan lingkungan dan kebudayaan mereka yang lama atau yang disebut sebagai culture shock. Keadaan ini bukan berarti tidak dapat ditanggulangi. Manusia yang mengalami culture shock mau tidak mau harus bisa menyesuaikan diri dengan lingkungan dan kebudayaan yang baru. Dengan adanya sikap toleransi untuk terbuka dengan lingkungan dan kebudayaan baru ataupun memotivasi diri sendiri untuk bisa beradaptasi, maka manusia bisa mengatasi keadaan tersebut. Hal ini nantinya akan menimbulkan keadaan yang disebut migrant-host relationship, seperti akan terjadi asimilasi atau pembauran dua budaya ataupun malah terjadi separation atau pemisahan antarbudaya.

3.2  SARAN
            Sebelum melakukan migrasi, ada baiknya kita mempelajari budaya tempat tujuan migrasi terlebih dahulu. Hal ini bisa membantu kita untuk tidak terlalu mengalami cuture shock. Selain itu, hal ini juga dapat membantu kita unuk lebih mudah beradaptasi dan berkomunikasi dengan masyarakat yang ada di lingkungan baru tersebut.